Puluhan semut merah bagai bergerombol didadanya, meninggalkan rasa gatal, gemas dan serupa kesal, mengiringi ia yang melangkah ke pegadaian bersama anak sulungnya. Menggotong sebuah barang mahal dari Turki, yang dioleh-olehi suaminya manakala sang suami pulang merantau. Ia akan menggadaikan barang itu, dengan harapan mendapat harga pantas sehingga teratasilah sedikit masalah keuangan keluarga.
"Ini bukan barang berharga bu, jadi kami cuma bisa menghargai barang ini 50 ribu"
Sambil mengucapkan terimakasih pada petugas pegadaian kemudian berlalu pergi, ia bersungut-sungut "keterlaluan, masa cuma dihargai 50 ribu ni!", dengan agak terbelalak, berkata pada anak sulungnya. Dalam perjalanan pulang, masih dengan menggotong barang yang cuma dihargai 50 ribu itu, mereka berdua berjalan dengan langkah yang entah kenapa malah menjadi ringan, dipikir-pikir, konyol juga ya berharap pada pegadaian, dan adalah sebuah kebodohan jika ia mau setuju pada harga si petugas pegadaian. "Cih! apanya yang menyelesaikan masalah tanpa masalah?!", eee...rupanya ia masih kesal pada pegadaian. Mereka berdua merayapi waktu perjalanan pulang dengan menertawakan diri sendiri, menertawakan hidup dan bagaimana setiap manusia terombang-ambing dalam misterinya. Tuhan punya selera humor yang bagus.
Suara muadzin terdengar jelas, dari mesjid yang hanya berjarak 10 rumah. Mukena basah oleh air mata. Dengan amat hati-hati, ia berusaha mengontrol akibat dari isak tangisnya. Marilah bersuara sehalus mungkin, dan bergerak sesedikit mungkin, biar hanya tuhan yang tau tangisnya. Si sulung mengintip dari pintu. Sulung dapat membaca punggung itu. Pundak si pemilik punggung tidak bergerak naik turun, sangat tenang, tapi ia tau benar sang pemilik pundak sedang terisak, dalam doanya. Sulung tau sang pemilik pundak sedang galau, tentu saja tau, karena mereka satu rumah. Rumah yang sedang malang, sehingga para penghuninya terpaksa harus menjual barang berharga satu persatu, dipimpin oleh sang ibu, ibunya si sulung. Terusik oleh perasaan diamati, sang pemilik pundak bangun dari ibadahnya. Tidak lupa cuci muka, dan menenangkan diri sejenak menghilangkan bukti-bukti tangisan. Ia selama ini tidak pernah menangis didepan anak-anaknya. Tidak dulu, tidak sekarang dan tidak nanti. Ia yang selama ini mengajarkan kemandirian dan ketegaran pada si sulung dan tidak si bungsu karena ia punya cara sendiri untuk mendidik anak itu, tidak boleh terlihat begitu terbawa persoalan. Anggap saja persoalan yang mereka hadapi sekarang cuma kerikil kecil. Dan ia telah mendidik si sulung, anak perempuan satu-satunya untuk jadi tegar, karena hidup bersikap lebih keras pada perempuan. Siapa tau nanti ia pun mendapatkan suami yang kurang bertanggung jawab seperti suaminya alias bapak anak-anaknya, sehingga si sulung akan amat siap nanti. Sekarang...tinggal berserah diri pada tuhan. Ia yakin, tuhan akan mengabulkan doanya tadi, seperti tuhan mengabulkan doa-doa sebelumnya, yang membuat ia kemudian menjadi pendoa yang amat teguh.
N.B : Saya sedang rindu berat pada mama saya di Bandung. Dengannya saya ngobrol di telepon beberapa hari lalu, minta dikirimi kopi aroma, kami tertawa-tawa tapi ia tidak tahu betapa sulitnya saya mengendalikan diri ketika itu. Harus terdengar tertawa padahal saya sedang menangis gemas. Tangan saya meremas pinggiran tempat tidur yang saya duduki. Saya ingin memeluknya. Seperti ketika kami masih satu rumah, dan dirundung masalah, kami suka berpelukan, masing-masing membutuhkan rasa tenang. Ia yang selalu menjadi inspirasi kekuatan yang juga telah membentuk saya menjadi orang yang kuat, jadi kompas, jadi weker, jadi apapun yang saya butuhkan, berada jauh disana. Butuh sebuah hidup baru, untuk membuat saya merindu seperti ini
"Ini bukan barang berharga bu, jadi kami cuma bisa menghargai barang ini 50 ribu"
Sambil mengucapkan terimakasih pada petugas pegadaian kemudian berlalu pergi, ia bersungut-sungut "keterlaluan, masa cuma dihargai 50 ribu ni!", dengan agak terbelalak, berkata pada anak sulungnya. Dalam perjalanan pulang, masih dengan menggotong barang yang cuma dihargai 50 ribu itu, mereka berdua berjalan dengan langkah yang entah kenapa malah menjadi ringan, dipikir-pikir, konyol juga ya berharap pada pegadaian, dan adalah sebuah kebodohan jika ia mau setuju pada harga si petugas pegadaian. "Cih! apanya yang menyelesaikan masalah tanpa masalah?!", eee...rupanya ia masih kesal pada pegadaian. Mereka berdua merayapi waktu perjalanan pulang dengan menertawakan diri sendiri, menertawakan hidup dan bagaimana setiap manusia terombang-ambing dalam misterinya. Tuhan punya selera humor yang bagus.
Suara muadzin terdengar jelas, dari mesjid yang hanya berjarak 10 rumah. Mukena basah oleh air mata. Dengan amat hati-hati, ia berusaha mengontrol akibat dari isak tangisnya. Marilah bersuara sehalus mungkin, dan bergerak sesedikit mungkin, biar hanya tuhan yang tau tangisnya. Si sulung mengintip dari pintu. Sulung dapat membaca punggung itu. Pundak si pemilik punggung tidak bergerak naik turun, sangat tenang, tapi ia tau benar sang pemilik pundak sedang terisak, dalam doanya. Sulung tau sang pemilik pundak sedang galau, tentu saja tau, karena mereka satu rumah. Rumah yang sedang malang, sehingga para penghuninya terpaksa harus menjual barang berharga satu persatu, dipimpin oleh sang ibu, ibunya si sulung. Terusik oleh perasaan diamati, sang pemilik pundak bangun dari ibadahnya. Tidak lupa cuci muka, dan menenangkan diri sejenak menghilangkan bukti-bukti tangisan. Ia selama ini tidak pernah menangis didepan anak-anaknya. Tidak dulu, tidak sekarang dan tidak nanti. Ia yang selama ini mengajarkan kemandirian dan ketegaran pada si sulung dan tidak si bungsu karena ia punya cara sendiri untuk mendidik anak itu, tidak boleh terlihat begitu terbawa persoalan. Anggap saja persoalan yang mereka hadapi sekarang cuma kerikil kecil. Dan ia telah mendidik si sulung, anak perempuan satu-satunya untuk jadi tegar, karena hidup bersikap lebih keras pada perempuan. Siapa tau nanti ia pun mendapatkan suami yang kurang bertanggung jawab seperti suaminya alias bapak anak-anaknya, sehingga si sulung akan amat siap nanti. Sekarang...tinggal berserah diri pada tuhan. Ia yakin, tuhan akan mengabulkan doanya tadi, seperti tuhan mengabulkan doa-doa sebelumnya, yang membuat ia kemudian menjadi pendoa yang amat teguh.
N.B : Saya sedang rindu berat pada mama saya di Bandung. Dengannya saya ngobrol di telepon beberapa hari lalu, minta dikirimi kopi aroma, kami tertawa-tawa tapi ia tidak tahu betapa sulitnya saya mengendalikan diri ketika itu. Harus terdengar tertawa padahal saya sedang menangis gemas. Tangan saya meremas pinggiran tempat tidur yang saya duduki. Saya ingin memeluknya. Seperti ketika kami masih satu rumah, dan dirundung masalah, kami suka berpelukan, masing-masing membutuhkan rasa tenang. Ia yang selalu menjadi inspirasi kekuatan yang juga telah membentuk saya menjadi orang yang kuat, jadi kompas, jadi weker, jadi apapun yang saya butuhkan, berada jauh disana. Butuh sebuah hidup baru, untuk membuat saya merindu seperti ini