iwiwhwiwiwiwiwi

Sabtu, 28 Maret 2009

6 komentar
Puluhan semut merah bagai bergerombol didadanya, meninggalkan rasa gatal, gemas dan serupa kesal, mengiringi ia yang melangkah ke pegadaian bersama anak sulungnya. Menggotong sebuah barang mahal dari Turki, yang dioleh-olehi suaminya manakala sang suami pulang merantau. Ia akan menggadaikan barang itu, dengan harapan mendapat harga pantas sehingga teratasilah sedikit masalah keuangan keluarga.
"Ini bukan barang berharga bu, jadi kami cuma bisa menghargai barang ini 50 ribu"

Sambil mengucapkan terimakasih pada petugas pegadaian kemudian berlalu pergi, ia bersungut-sungut "keterlaluan, masa cuma dihargai 50 ribu ni!", dengan agak terbelalak, berkata pada anak sulungnya. Dalam perjalanan pulang, masih dengan menggotong barang yang cuma dihargai 50 ribu itu, mereka berdua berjalan dengan langkah yang entah kenapa malah menjadi ringan, dipikir-pikir, konyol juga ya berharap pada pegadaian, dan adalah sebuah kebodohan jika ia mau setuju pada harga si petugas pegadaian. "Cih! apanya yang menyelesaikan masalah tanpa masalah?!", eee...rupanya ia masih kesal pada pegadaian. Mereka berdua merayapi waktu perjalanan pulang dengan menertawakan diri sendiri, menertawakan hidup dan bagaimana setiap manusia terombang-ambing dalam misterinya. Tuhan punya selera humor yang bagus.


Suara muadzin terdengar jelas, dari mesjid yang hanya berjarak 10 rumah. Mukena basah oleh air mata. Dengan amat hati-hati, ia berusaha mengontrol akibat dari isak tangisnya. Marilah bersuara sehalus mungkin, dan bergerak sesedikit mungkin, biar hanya tuhan yang tau tangisnya. Si sulung mengintip dari pintu. Sulung dapat membaca punggung itu. Pundak si pemilik punggung tidak bergerak naik turun, sangat tenang, tapi ia tau benar sang pemilik pundak sedang terisak, dalam doanya. Sulung tau sang pemilik pundak sedang galau, tentu saja tau, karena mereka satu rumah. Rumah yang sedang malang, sehingga para penghuninya terpaksa harus menjual barang berharga satu persatu, dipimpin oleh sang ibu, ibunya si sulung. Terusik oleh perasaan diamati, sang pemilik pundak bangun dari ibadahnya. Tidak lupa cuci muka, dan menenangkan diri sejenak menghilangkan bukti-bukti tangisan. Ia selama ini tidak pernah menangis didepan anak-anaknya. Tidak dulu, tidak sekarang dan tidak nanti. Ia yang selama ini mengajarkan kemandirian dan ketegaran pada si sulung dan tidak si bungsu karena ia punya cara sendiri untuk mendidik anak itu, tidak boleh terlihat begitu terbawa persoalan. Anggap saja persoalan yang mereka hadapi sekarang cuma kerikil kecil. Dan ia telah mendidik si sulung, anak perempuan satu-satunya untuk jadi tegar, karena hidup bersikap lebih keras pada perempuan. Siapa tau nanti ia pun mendapatkan suami yang kurang bertanggung jawab seperti suaminya alias bapak anak-anaknya, sehingga si sulung akan amat siap nanti. Sekarang...tinggal berserah diri pada tuhan. Ia yakin, tuhan akan mengabulkan doanya tadi, seperti tuhan mengabulkan doa-doa sebelumnya, yang membuat ia kemudian menjadi pendoa yang amat teguh.


N.B : Saya sedang rindu berat pada mama saya di Bandung. Dengannya saya ngobrol di telepon beberapa hari lalu, minta dikirimi kopi aroma, kami tertawa-tawa tapi ia tidak tahu betapa sulitnya saya mengendalikan diri ketika itu. Harus terdengar tertawa padahal saya sedang menangis gemas. Tangan saya meremas pinggiran tempat tidur yang saya duduki. Saya ingin memeluknya. Seperti ketika kami masih satu rumah, dan dirundung masalah, kami suka berpelukan, masing-masing membutuhkan rasa tenang. Ia yang selalu menjadi inspirasi kekuatan yang juga telah membentuk saya menjadi orang yang kuat, jadi kompas, jadi weker, jadi apapun yang saya butuhkan, berada jauh disana. Butuh sebuah hidup baru, untuk membuat saya merindu seperti ini

Antara persawahan, horison dan pegunungan Iyang

Selasa, 17 Maret 2009

12 komentar


Sudah dua hari lebih seminggu saya disini. Meninggalkan semua yang pernah jadi bagian dari hidup saya di bandung, dengan harapan memiliki warna warni baru dalam hidup,bersama orang yang saya cintai,di tempat bernama bondowoso. Sebuah kota dengan ritme yang lambat, percepatan kemajuan ekonomi yang tersendat, tanpa mall, tanpa bioskop, tanpa toko buku, bahkan dvd bajakan belum menjadi hiburan yang populer. Apakah saya merindukan semua yang telah saya bangun di bandung yang lalu saya tinggalkan beberapa waktu lalu? ya, sangat!. Bahkan dalam kerinduan yang teramat sangat ini saya bisa menangis sampai sesak, lalu menghambur ke pelukan partner saya dan terus menangis disitu sampai secuil kerinduan saya pada kampung halaman terkeluarkan lewat air mata. Saya terlalu merindukan rumah. Saya rindu berat pada mama. Saya rindu kehidupan saya di bandung. Apalagi ketika melihat keluar rumah saya disini, lalu mendapati betapa berbedanya tempat ini dan tanah sunda yang saya tinggalkan. Cuma ada satu persamaan, bahwa bondowoso dan bandung sama-sama sejuk, karena kontur alam yang dikelilingi pegunungan. Setidaknya ada satu hal yang sama dengan rumah. Meninggalkan bandung adalah hal paling sulit yang saya lakukan. Meninggalkan pekerjaan, mama, adik, rumah, dan segala yang membentuk saya sejak kecil. Dalam sebuah obrolan, seorang teman bertanya "lu yakin mau ninggalin bandung?". "Ya", begitu jawaban singkat saya. Kadangkala saya menganggap ini keputusan bodoh. Tentu saja karena telah begitu banyak yang saya lakukan di bandung dan proses itu telah membuahkan hasil yang baik, lalu saya tinggalkan. Apalagi ketika didalam taksi, dalam perjalanan jember-bondowoso, ponsel saya berdering, dan seseorang dari sebuah penerbitan besar meminta saya menjadi moderator sebuah peluncuran buku dan saya harus menolaknya. Ah, ya popi, kamu harus berlapang dada (aslinya udah lapang siih tapi mm dalam arti sebenarnya hauahuaahu!), kamu akan punya dunia baru, pop.


Lalu, apakah saya menyesali keputusan pindah kesini? pernah. Apalagi ketika kehidupan disini belum lebih baik dari apa yang saya tinggalkan. Beberapa hari lalu, ketika sedang sekarat karena bosan, saya menyesal telah meninggalkan kehidupan saya di Bandung. Tapi ini tidak lama kok. Saya segera menyadari bahwa perubahan adalah hal paling pasti dalam hidup dan setiap manusia mau tak mau harus memilih dan membuat keputusan. Dan melangkah ke dunia yang baru adalah keputusan saya. Lalu mulailah saya proses yang baru, yaitu membuat hati, pikiran dan jiwa saya merasa seperti berada dirumah. Dalam sebuah perjalanan menuju rumah ibu mertua yang cuma 10 menit dari rumah saya, saya melewati persawahan yang amat sangat luas dan bisa saya temukan di hampir setiap bagian dari kota ini. Ada bagian yang kuning, dan ijo royo-royo, dengan latar belakang langit biru yang amat jernih, sehingga pegunungan yang memagari kota ini terlihat jelas permukaannya (fotonya yang teman-teman liat diatas itu, kalo langit sedang cerah, kita bisa melihat gulungan awan yang dramatis). Ya, sekali lagi, tuhan telah mewujudkan keinginan saya, eh bukan keinginan deng! tapi fantasi. Dulu sekali, saya berfantasi, suatu hari nanti ketika saya sudah mulai penat pada kehidupan kota besar, saya ingin tinggal di kota kecil yang menyuguhkan pemandangan hijau menyejukan setiap hari, dengan udara bersih dan kehidupan yang sederhana. Dan sekarang saya berada di fantasi dulu. Ya, saya rasa mulai saat ini saya harus sangat berhati-hati ketika berfantasi.

Tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan pemandangan yang diharapkan para turis asing terhadap indonesia. Tinggal berjalan ke pemukiman penduduk di belakang rumah, dan saya mendapatkan pemandangan itu, tidak mahal, dan tidak perlu bersusah payah. Setelah sering melewati permadani hijau bondowoso, dan menyadari betapa tentramnya kesan yang timbul setiap saya, secara bergantian, menatap horison, lalu persawahan, lalu lekuk-lekuk pegunungan dan permukaannya yang tampak jelas, saya yakin, tempat ini akan menjadi rumah berikutnya.

dari hafidi sampai richie ricardo

Jumat, 13 Maret 2009

7 komentar

HAHAUHAUHAUHAUAHAUHUAHUAHAUHAU! Kira-kira, wajah dan ekspresi semacam bapak diatas, bisa gak ya bikin para pemilih bilang "Aku padamu pak Hafidi!"?


Billboard caleg ganteng ini ada didepan rumah saya di bondowoso, jadilah saya jepret dianya.
Ah Pak Nasim, nama belakang anda kok sama dengan Shahrukh khan idola saya ahauahuahauha! eh eh pak nasim, anda juga mirip salah satu penyanyi idola saya looo. Saya kasih clue nya yaa, potongan lirik lagunya itu

Apanya yang menarik apanya
Bukan bibir dan senyumnya
Apanya yang menarik apanya
Acuh acuh hampir mau


HUAHUAHAUHAUAHUAH! Yap! dia adalah Richie Ricardo. Nih saya kasih fotonya dibawah ini
Gambar diambil dari sini

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates