Sintren Cemani

Jumat, 24 April 2009

9 komentar

Aku cemani, seorang perempuan yang dibesarkan dalam sintren. Biarkan aku menari, dan akan kubiarkan kalian mereguk pemandangan indah tubuhku. Tapi jangan sekali-kali kalian coba menyentuhku, karena itu berarti kematianmu.


Musik ini mistis. Mengalunkan badanku menuju dunia hampa, seakan tanpa gaya tarik bumi, lega, melayang, nikmat. Selendang ini...selendang ibu. Gadis sintren molek yang lalu mati di ranjang seorang dalang beristri sembilan, setahun setelah melahirkanku. Akulah anak haram mereka. Cemani, diambil dari nama suatu jenis ayam, katanya mahal, tapi aku tak tau benar. Barangkali langsung saja kusimpulkan, bahwa aku diharapkan jadi mahal. Dan aku memang mahal, karena menyentuhku berarti kematianmu. Aku terdengar mengancam? he..tidak seperti itu. Aku hanya menentukan batasan, agar kita semua tetap pada tempatnya.



Lihat tarianku. Lihat liukan pinggulku dan terngangalah kalian semua. Kalian semua pasti memimpikan berada didalam badanku. Merasakan sendiri liukan pinggulku dalam aktivitas membuat anak, atau membuang calon anak. Hei para perempuan desa yang bersuami, kalian pasti sedang mengutukiku dalam hati, agar aku cepat mati sehingga suami kalian tidak lagi bertetes liur mencermati tubuhku. Kalian cemburu bukan?


Hei semua lelaki, lihatlah tubuhku mengalun. Kalian kira kenikmatan tiada tara adalah dengan berfantasi macam-macam atas tarianku? hahahaha! kalian dangkal. Tahukah kalian apa kenikmatan sejati? itu adalah ketika sukma kita dengan sadar-sesadarnya meninggalkan jasad lalu melayang pada sebuah medan paralel yang kusebut nirwana.


Hei semua, lihatlah aku, si cemani yang mahal karena amat molek dan cantik, sebegitu inginnyakah kalian bergumul denganku?

Teeerlaaluu

Selasa, 21 April 2009

11 komentar
Pertama : Bapak saya mirip Rhoma Irama

Kedua : Keluarga suami bilang "Bapaknya mirip Rhoma Irama ya?! seneng dong mirip artis!"
Respon saya : "Heeee?!"

Ketiga : Ibu mertua ternyata hafal banget sama semua filmnya rhoma irama dan lagu-lagunya, sehingga kalo maen Berpacu Dalam Melodi edisi spesial Bang Haji, ibu mertua saya pasti juaranya!

Keempat : Simak dialog dibawah ini


Si suami mulai nyolokin flashdisk ke pc adeknya

Saya : ngambil data apa yang?
Dia : ngopi ALBUMnya Ridho Roma (dengan muka sumringah)
Saya : speechles


Kelima : Begitu bangun tidur, suami langsung nyalain pc, klik winamp dan mengalunlah lagu-lagunya Ridho Roma

Dia : yang, suaranya rhido roma ini emang enak ya! musiknya pun bukan dangdut biasa-biasa aja
Saya : speechles


Keenam : Lagunya rhido roma terngiang-ngiang terus di kepala saya, bahkan saya mulai bersenandung. Lama-lama harus mengakui kalo suara ni orang emang enak didenger


AAAARRRRRRRRGH!!! SAYA TERKENA KUTUKAN SATRIABERGITARBERBULUDADATERLALU ITUUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!


TUHAAAN! SELAMATKAN SAYAAAAA!!

Takut jalannya gak bener!

Minggu, 19 April 2009

9 komentar
Barusan aja ibu mertua cerita kalo ada orang Arab yang sedang nyari istri keempat hahahaha! Saya langsung kebayang Hareem. Orang Arab itu minta bulik saya nyariin, kalo dapet, komisinya 25 juta. Mau ada yang ikutan jadi calo? haahauhahaha! yang lebih bikin saya tercengang, katanya si arab itu mau ngasih mas kawin 75 juta, bisa lebih tergantung tawar menawar.

Kata bulik, sudah ada satu kembang desa yang mau, tapi dia minta mas kawin 350 juta! gelo oge euy! Bukan cuma sekali ini saja orang arab masuk desa (kok kayak program abri ya?). Dulu, sebelum bulik menikah, ia pun sempat ditaksir oleh salah satu orang arab, sempat tawar menawar pula, tapi akhirnya bulik saya gak mau. Tak tau apa alasan pastinya. Kalo versi gak seriusnya, kata ibu mertua sih, takut pas pulang ke Indonesia, jalannya jadi gak bener. Saya ketawa sampe nyembur, pun ibu mertua saya. Saya rasa yang ada di pikiran kami sama HAHAHAHAHAHA! anjisss. Kalo di Indonesia, ada larutan penyegar cap kaki tiga, maka di Arab ada para lelaki berkaki tiga.

Nyunda

Rabu, 15 April 2009

9 komentar
Ada satu hal yang sangat saya rindukan saat ini, ngobrol pake bahasa sunda!! Sono pisan euy!! Ketika kemarin saya chat dengan seorang teman dari Bandung yang kini berada di Singapura, saya pun langsung mengutarakan maksud,“Mei, urang sono ngobrol make bahasa sunda euy” (mei, saya kangen ngobrol pake bahasa sunda nih). Gayung bersambut, mei bilang “nya sok atuh, hayu” (ya, silahkan. Ayo). Jadilah kami menggunakan bahasa sunda selama ngobrol. Belum terpuaskan benar, tapi lumayanlaaah. Saya kangen berat ngobrol pake bahasa sunda yang kacrut-kacrut. Anu garoblog lah! Hauhauahauh. Nah, bahasa pasar mulai keluar. Soalnya bahasa sunda kasar itu lucu, dan benar-benar mencairkan suasana karena banyak idiom yang terdengar menggelikan dan meminimalisir jarak psikologis. Urang nyaanan sono pisan ngomong make maneh-maneh-urang-urang, tong poho make siah ogee. Eta mah sarat! Hhahaha! Didieu ueweuh hiji-hiji acan anu bisa diajak ngobrol make sunda, unggal menit urang ngadenge maduraaaa wae! Aya sih urang sunda, tapi tukang kiridit, lamun diajak ngobrol pasti nyambungna kana kiriditan.

Roro Jongrang mencari jodoh

Minggu, 12 April 2009

6 komentar
"Gw gak nyangka lu bakal nikah, gw kira lu bakal kayak....(menyebut nama seorang teman kami yang feminis)"


Hehehe, geli juga membaca kalimat diatas ketika saya chat dengan mantan teman kantor yang dulu sangat dekat dengan saya, dan tau benar bahwa meskipun cara pandang saya banyak mengacu pada feminisme humanis, tapi gak seradikal itu sampe saya gak mau menikah. Bukan cuma dia yang agak kaget dengan keputusan saya menikah, beberapa teman pun begitu. Ada yang bilang "masa feminis nikah?" hahahahahaah! siapa yang bilang feminis itu gak boleh nikah? Sepertinya menikah itu dianggap sebagai pengkhianatan pada ideologi feminisme hehehe. Lagipula saya bukan feminis aaah, terlalu gimannaaa gitu kalo saya melabeli diri sendiri dengan itu. Iya memang dalam perkembangannya, ada yang disebut feminis radikal, yang root pemikirannya adalah bahwa sumber dari segala kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Maka jika tidak ingin kekerasan ada di muka bumi, enyahkan saja laki-laki. Ekstrimnya begituuu. Padahal kekerasan itu bukan hanya dilakukan oleh laki-laki :). Lalu kemudian teman-teman feminis radikal inilah yang dilihat sebagai corak umum dan aliran utama feminisme. Banyak dari teman-teman ini yang kemudian memilih menjadi lesbian by any cause of course, atau tidak menikah saja. Saya, tidak memilih itu. Dari yang saya pahami melalui studi feminisme, bahwa harmonisasilah yang dikehendaki oleh feminisme. saya dibesarkan di lingkungan yang tidak memperlihatkan keindahan relasi perempuan dan laki-laki, bahkan saya punya banyak sekali alasan yang bisa membuat saya benci laki-laki, atau menjadi lesbian saja.


Tapi kemudian saya bertumbuh, dan mencari, serta berpikir, bahwa saya tidak ingin menjadi blue print sebuah sistem yang membesarkan orang-orang di sekitar saya menjadi orang yang timpang bersikap. Tuhan tidak gegabah. Dia juga baik hati dan penuh perhitungan. Ia tidak menciptakan apapun untuk jadi sia-sia atau disia-siakan. Pun dalam berbagai teologi agama tidak pernah dikatakan bahwa harus ada ketimpangan, agar menjaga dunia relasi manusia tetap harmonis. Hanya ada keselarasan. Itu saja. Maka ketika saya menemukan partner yang saya anggap dapat selaras dengan saya, pencarian saya berakhir. Cieee pencariaan, kayak sayembara jodoh aja pop ah. Iya, saya pernah berpacaran dengan beberapa tipe orang dan pada akhirnya saya meninggalkan mereka karena mereka tidak melihat saya sebagai manusia berdaya, yang punya kehendak, punya pikiran, punya kemampuan untuk mewujudkan apa yang saya ingin, dan saya tidak ingin bergantung. Sementara mereka berpikir bahwa perempuan memang semestinya bergantung pada mereka, menunggu mereka putuskan apa yang baik untuk saya, lalu mendikte apapun yang harus saya lakukan untuk membuat diri saya tetap menjadi "milik" mereka. Dari sini saya berpikir bahwa keselarasan itu tidak mungkin kami rintis. Lalu ketika saya sedang menikmati kesendirian, saya bertemu sama suami saya dan kemungkinan relasi yang selaras itu tergambar jelas. Tipe orang seperti itu yang saya cari. Yang akan melengkapi hidup saya dan saya akan melengkapi hidupnya. Hanya tuhan, saya dan suami yang tau bagaimana sulitnya bisa sampai sini. Darah dan air mata kami tumpahkan *halaaah lebay lo ah!*. Saya rasa memang ada saatnya seseorang menghentikan pencariannya, ketika ia sudah menemukan. Ya eyalah pooop! jadi untuk yang ingin selalu mencari, semangat!!! kalo keabisan ongkos, jadi tukang cuci piring aja, atau jadi waitress! hihih, ngomong apa sih guwe.

jendela...

Sabtu, 11 April 2009

6 komentar

Di jendela itu saya biasa duduk menikmati kopi atau teh di sore hari, sambil menatap yang hijau-hijau. Sesekali si suami masuk dan mencium saya hihihih. Jendela itu pula yang saya buka di pagi hari sehabis bangun tidur, lalu melaluinya masuklah cahaya matahari, dan terdengarlah dengan jelas suara burung, kemudian saya hirup itu udara dingin pagi hari. Di jendela itu pula saya biasa nongkrong sambil membaca. Tidak pernah saya lakukan itu ketika di Bandung. Tentu saja karena saya tidak punya kesempatan. Saya terlalu sibuk untuk menikmati itu segelas kopi yang ternyata wanginya membuat saya bergaya seperti bintang iklan kopi yang menghirup aroma segelas kopi. Ketika masih mendedikasikan 80 % waktu saya untuk pekerjaan dan jarang sekali membiarkan diri saya diam, saya pun tak pernah punya waktu banyak untuk baca buku, sehingga baca 100 halaman pun bisa lebih dari sebulan hehe. Keterlaluan ya? memang. Ternyata bekerja terlalu lama dan terlalu keras itu buruk buat hidup. Saya kira saya telah cukup bersenang-senang, ternyata saya salah. Menikmati waktu berdua dengan diri sendiri, kala senggang yang tenang, dan tidak membuat diri saya melakukan multitasking, adalah kenikmatan yang menyenangkan. Dan ternyata pula, menghabiskan satu demi satu buku itu pencapaian yang sama menyenangkannya seperti ketika saya membuat beberapa feature dan iklan. Saya tidak lagi malas membaca, malah sebaliknya, sehari aja gak baca, berasa hampa hidup saya *tsah!.
Ya, tuhan tidak pernah mengambil, ia hanya mengganti.

Derita pipi pantat

Rabu, 08 April 2009

6 komentar
Saya selalu menyukai perjalanan malam. Ada banyak hal menarik yang tidak mungkin kita temui
saat siang. Seperti yang saya temui di malam-malam saya pulang pergi ke kantor, di kota lain. Tsaah! sedaaap! emang bener kota lain lo. Saya tinggal di Bondowoso dan kerja di Jember, yang ditempuh dengan satu jam perjalanan, 2 jam jika PP. Kalo di bandung atau kota besar lainnya, satu jam tentunya waktu yang singkat untuk mengitari kota. Tapi rute yang saya tempuh tiap hari, woooh yuu maree, adalah rute yang bener-bener gak sedep.
Saya siaran jam 9 malem, berangkat dari rumah setelah magrib atau setelah isya. Kalo berangkat jam segitu sih jalanan masih rame, tapi kalo pulang (saya pulang jam 11 malem), kegelapan menjadi kawan akrab. Begitu keluar kantor, saya langsung menempuh jalanan yang luruuuus terus. Awalnya masih di kota, banyak rumah dan lampu jalan. Keluar dari kota, masuk pinggiran, masih agak banyak rumah, walaupun sudah banyak area yang gelap. Lalu luruuuus terus, melewati kawasan hutan kota (deket rel kereta api pula), dan itu alamak gelapnya, sepi pula!. Lalu mulailah saya memasuki kecamatan pertama di kabupaten jember. Rumah-rumah mulai jarang, kebanyakan pepohonan, untungnya ada lampu jalan yang masing-masingnya berjarak lumayan rapat. Jember adalah kota yang PAD nya cukup tinggi, didapat dari industri tembakau. Beberapa perusahaan rokok terbesar di Indonesia mengambil tembakau dari kota ini, makanya pemda nya punya anggaran cukup untuk penerangan jalan yang memadai. Syukurlah.
Setelah melewati kecamatan pertama, saatnya saya melalui jalan kelok sembilan *tsaah! sedap bener istilah guwe. Memang tidak ada nama resmi untuk jalanan rute jember-bondowoso, tapi karena banyak tikungan dan jalan yang meliuk-liuk, saya namai saja kelok sembilan, walaupun kelokannya lebih dari sembilan. Yaaa bayangkan saja jalanan menuju cirebon (pas di cadas pangeran), atau jalan lintas sumatera yang didominasi oleh pepohonan, ya gitu deh rute jalan yang saya lewati. Si Mio saya pacu dengan kecepatan super!! 40 km/jam! hihihihiih. Kenapa cuma segitu? bok! orang-orang sana itu demen banget sembalap dan berkendara gak pake aturan, nah kalo saya ngebut ntar disalip atau ada yang motong jalur dari arah berlawanan, apa gak bahaya tuh! Ok, mulai masuk ke wilayah kegelapan nih. Melewati hutan pinus, dengan kontur jalan naik turun, kalo naik ya naik banget sampe ketika kita ada puncaknya, kita gak bisa liat jalan didepan, kalo turun ya beneran kayak naek mini coaster. Selesai hutan pinus, lewatlah saya di pabrik tembakau. Bau tembakau tercium jelas. Gelap gulita deh jalan didepan pabrik itu. Lepas dari bau tembakau, saya melewati kecamatan lainnya, dengan beberapa palang "HATI-HATI!!! KAWASAN RAWAN KECELAKAAN", mampus gak tuh! deg-deg serrr kan jantung saya (aiih pooop, kok pake serr siiih, dangdut banget deh kamyuu), dan itu jalanan gelap gulita sodara-sodara! mana tanjakan tajam pula! lalu ketemu deh saya sama tikungan entah keberapa. Oh bau duren mulai tercium. Asiiik! ini bagian jalan yang paling seneng saya lewatin, karena di pinggirnya banyak tenda-tenda penjual duren yang terang benderang, dan wangiii!.
Setelah kawasan ini, lewatlah saya kembali di sebuah hutan kayu, entah kayu apa. Biar gak mikirin yang nggak-nggak, biasanya saya dan suami bermain Berpacu dalam Melodiii! (dibaca dengan intonasi Koes Hendratmo), tentunya lagu-lagu jadul yang jadi pertanyaannya. Atau kami main tebak acara TVRI, najes kan gamenya! hahaha! Kalo bosen maen, biasanya saya nyanyi keras-keras, biasanya lagu-lagu legendaris macam lagunya almarhum Gombloh dan Bruri Pesolima eh Marantika eh Pesolima eh apapun itu lah (bapak yang satu itu emang suka gonta ganti nama, sesering dia berganti agama). Selesai hutan kayu, giliran sebuah desa (saya lupa namanya), saya lewatin. Dengan rumah yang tidak begitu banyak dan penerangan beberapa lampu jalan, masih so so laah, gak nakutin amat. Terus kecamatan berikutnya yang lagi-lagi sepi dan gelap gulita. Tadi malem itu saya sempet kaget banget karena ada orang tinggiii banget, kurus pula, berkerubun sarung, jalan hampir ke tengah jalan (dari arah yang berlawanan) dengan ujung telapak kaki saling bertemu, nah susah kan bayanginnya. respon spontan saya langsung "Yang! liat gak yang barusan?! itu orang atau hantu sih?!!!. Setelah melewati tanjakan tajam yang entah keberapa, saya melewati hutan jati, dan ini asli gelap segelapnya! mana luas pula hutannya, dan seekor musang pun nyebrang jalan. Dasar monyet! eh musang! bikin motor saya agak ngageol (red : bergoyang). Deg-degan lagi deh saya. Gimana kalo ketabrak, dan gimana pula kalo musang jadi-jadian, kemudian saya dan suami jadi diikutin kemana-mana terus jadi kena kutukan musang jadi-jadian. Hiiii!!.

Naah, hutan jati udah lewat, gilirannya sebuah kota kecamatan dengan plang "HATI- HATI, DAERAH RAWAN KECELAKAAN!!" menyambut kami. Kata si suami, daerah itu emang jadi langganan kecelakaan, bahkan dua sodaranya pernah kecelakaan disitu, katanya sih karena orang situ nyetirnya koyo wong edyan! (red : kayak orang gila). Jalanan yang gelap tiada akhir masih belum selesai. Kembali kami melewati hutan jati, dan melintaslah seekor kucing. KUtilll!!! sekali lagi motor saya agak oleng karena menghindari nabrak kucing. Eeeh beberapa jauh dari situ, masih didaerah yang gelap, ada seekor anjing bosen idup berdiri di tengah jalan. Di klaksonin dia kagak pergi, disorotin lampu dia malah diem di tengah jalan, akhirnya terpaksa doong melambat. Gimana kalo pas melambat ada garong?!!! tu anjing, anjing ngepet kali ya hauahuahauh! siapa tau bukan cuma babi aja yang ngepet. Deg-degan masih berlanjut. Di tanjakan tajam berikutnya, biasanya ada truk pengangkut kayu, truk gandengan pula! dengan muatan segede-gede alaihim yang bikin deg-degan karena gak kuat nanjak, takut ngeglundung aja gitu itu kayu glondongan terus nimpa saya dan suami. Saya Nyalip lagee! saya memang bener-bener belajar salip menyalip di rute ini, padahal saya paling gak suka nyalip. Lepas dari perbatasan jember, mulai deh masuk kota bondowoso yang penerangan jalannya gak sebanyak di jember. Konon, karena PAD bondowoso itu sangat rendah, jadi pemdanya gak ada dana buat penerangan jalan. Penerangan minim, daerah pedesaan dengan amat sedikit rumah, membuat perjalanan ini jadi lengkap, lengkap menderitanya! hehehehehe. Di kanan kiri jalan, ada orang-orang yang sedang ngadem, dengan tiduran di pinggir jalan. Setengah badan tiduran di jalan, setengahnya lagi di pinggirnya. Jelema gelo!! (red : orang gila). Gimana kalo ada motor dengan kecepatan tinggi lewat situ? apa gak kelindes tuh?!. Setelah itu, kembali saya melewati hutan jati. Ya salaam, kapankah semua ini berakhiiir?! deg-degan berakhir ketika saya memasuki batas kota. Lega hati, lega pantat. Karena akhirnya ketemu sama jalanan terang dimana saya bisa menepi sejenak meluruskan badan dan menstabilkan pantat. Sedikit megal megol, biar pipi pantat kanan dan kiri tetap seimbang ketebalannya hihihihihih.

"Tokkeee! tokkeee!!"

Minggu, 05 April 2009

7 komentar
Bayangkan anda berada di tepian sebuah tempat yang kanan-kirinya persawahan dengan gradasi hijau muda-kuning-hijau tua-coklat. Tinggal duduk saja di pinggir jalan dan nikmati warna-warnanya, jangan lupa hirup udaranya sesekali, hiruplah dengan tidak buru-buru, biarkan itu mengisi paru-paru, mendesak semua polutan yang selama ini kita hirup di udara kota, dan mari berharap polutan itu akan memampat kemudian menjadi angin dan keluar sebagai kentut. Tengadahkan kepala perlahan, lalu lihat Langit jernih yang hanya ada di tempat yang minim polusi, dengan batas-batas gulungan awan yang tegas biru-putihnya, lalu tengoklah agak kebawah dan lihat permukaan gunung yang tidak gundul. Empat pegunungan yang tidak gundul, karena para kapitalis tidak doyan kota ini, karena kota ini kota pensiunan, katanya. Untunglah.

Kesederhanaan, kemurnian, dan ketenangan ada di kota ini. Kota kecil bernama Bondowoso yang mayoritas penghasilan penduduknya dari bertani. Dan saya tinggal di salah satu desanya, desa Sekarputih. Jangan bayangkan desa tertinggal seperti yang jadi tujuan gerakan ABRI Masuk Desa. Tidak ada lingkungan kumuh disini, jalanan mulus diaspal,
listrik pun sudah lama masuk, makanya pengusaha warnet buka bisnis di desa. Semua warga punya tanah luas, bahkan kebanyakan punya rumah yang sangat layak huni. Permanen, dengan garasi dan mobil didalamnya. Semua didapat dari hasil panen. Alam memberikan segalanya bukan? Selama itu dijaga, alam akan terus berbaik hati.

Jika sore saya mengelilingi desa ini, terdapat para sapi yang sedang leye-leye di halaman. Santai, damai, sesekali menguap, mungkin kekenyangan sehingga mengantuk. Sapi-sapi besar seharga 15 juta, yang menjadi penanda status sosial sekaligus alat investasi. Makin banyak sapi seseorang, makin kaya lah dia. Hitung saja, jika saya punya 3 sapi maka saya punya duit 45 juta sedang nangkring di kandang. Blackberry? gak laku!. Hanya sapi, sodara-sodara. Disini tidak ada makhluk-makluk social climber yang memaksakan kemampuan agar diakui oleh sebuah kelompok. Terdengar menyedihkan dan putus asa. Jika punya uang ya beli sapi dan sawah, jika tidak ya sudah, jadi penggarap sawah orang saja, atau bertani sayuran. Sederhana kan? Tak perlu takut tidak bisa makan, toh semua alam sudah sediakan. Untuk memasak pun tinggal ambil kayu bakar di halaman belakang untuk bahan bakar, dan petik sayuran dari kebun sendiri. Mau beras? jika tidak punya sawah, ya beli saja berasnya dari tetangga yang punya sawah, dan jika tidak punya uang, ya barter lah dengan sayuran. Mau makan ayam? tinggal tangkap ayam sendiri dan sembelih, jika tega. Merasa kurang protein? bangun saja pagi buta, lepaskan ayam-ayam yang dipunya ke halaman belakang, tunggu sebentar dan ayam akan bertelur, lalu punguti telur-telur kampung itu dari permukaan tanah, Fresh from the ass. Tidak repot, tanpa pretensi, apa adanya, tidak licik, tidak politis, dan tidak merugikan. Tidak diperbudak uang. Kemudian ketika malam tiba, keluarlah dan duduk-duduk di halaman depan lalu lihat langit sambil hirup udara malam pedesaan yang segar. Mau hitung bintang pun bisa, dijamin bakal cape menghitung karena langit disini pantang menyembunyikan bintang. Sesekali pejamkan mata dan nikmati bunyi jangkrik, kodok, riak air di saluran irigasi, ayam insomnia yang berkokok di tengah malam, diselingi si tokek yang tidak pernah mengeluarkan bunyi lain selain "Tokkeee! tokkeee!!". Amboy...




Cak Mudin & Mat Jubek

Jumat, 03 April 2009

4 komentar
Hargamu tak lebih dari seekor sapi, jadi jangan berlagak!


"Datanglah, reguk nikmatnya, dan jangan lupa sediakan sapi berikutnya jika ingin datang lagi", kata si mucikari bandar sapi sambil mengepulkan asap rokok lokal ber logo gagak hitam, seraya tersenyum manis pada Bapak tambun berbaju safari yang katanya petinggi dari Surabaya. Lupakan uang puluhan juta atau cek, itu semua tidak berlaku disini. Cuma terima sapi, itu saja! Jenis pembayaran yang kadangkala merepotkan pelanggannya, tapi toh, semuanya manut saja demi "merasakan" perawan desa berusia belia.

Entah punya pertalian apa dengan sapi, tapi si mucikari berkalung emas satu renteng ini hanya mau dibayar dengan sapi. Semua "anak-anak"nya sama harganya dengan seekor sapi besar atau tiga ekor untuk perawan muda belia. Mucikari itu bernama Cak Mudin, yang terlahir dari istri kelima seorang mantri desa. Cak Mudin berkulit hitam legam dan berambut merah, karena kebanyakan ngangon kerbau sewaktu kecil sampai remaja. Ia bertampang garang, tapi hanya ingin dipanggil mamih. Bukaan, dia bukan wadam, dia cuma merasa kata "mamih" itu enak didengar. Terasa absurd? tidak juga, karena tidak ada ukuran kenormalan dalam hidup cak mudin.
Cak Mudin punya otak dagang amat cemerlang sehingga jalur pemasaran, distribusi dan semua soal bisnisnya, ia pikirkan benar. Ia punya kawan sedari kecil bernama Mat Jubek, jangan lupa hilangkan bunyi "k" nya, lalu beri penekanan pada huruf e. Jubek artinya jelek. Ya, kawan dari kecilnya ini memang bermuka jelek, tapi nasibnya sama sekali tidak jelek. Ia adalah saudagar sapi terkaya di kota itu. Dan Mat Jubek lah yang direkomendasikan Cak Mudin pada para calon kliennya. Tidak perlu bawa sapi dari kota lain, cukup hubungi asisten Mat Jubek dan seekor sapi besar akan dikirim pada Cak Mudin sebagai bayaran atas "anak-anak"nya. Sapi Mat Jubek laku, Cak Mudin dapat komisi , daan dapat sapi tentunya. Semua pun riang gembira. Tidak terkecuali "anak-anak" Cak Mudin. Untuk mereka yang "berprestasi", menjelang hari raya, mereka akan mendapatkan seekor sapi, untuk dibawa pulang ke desa. Karena itu, anak-anak Cak Mudin pun terlihat riang gembira. Beberapa diantaranya bahkan sudah bisa mengirimkan orangtua mereka berhaji. Terdengar menyenangkan? tentu saja. Cak Mudin memang pandai membuat semua orang senang. Pun para penjual rawon dikotanya. Banyak kios rawon menjadi perantara bisnis Mat Jubek. Dari setiap kliennya, mereka dapat komisi lumayan. Lebih besar dari harga 50 mangkok rawon. Kata kuncinya adalah "pesen rawon spesial!" dan calon klien akan langsung diantar ke Cak Mudin. Untuk perantara yang "berprestasi", Cak Mudin memberikan reward berupa anak sapi, di akhir tahun. Ya, memang sapi lagi sapi lagi. Tapi itulah hidup Cak Mudin, seputar dunia sapi. Seputar senang-senang, dan membuat semua orang senang. Dan ia tidak menawarkan janji manis akan membuat senang. Yang ia lakukan adalah nyata. Benar-benar nyata senangnya.

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates