Saya berkantor di sebuah radio yang berada di daerah yang gelap gulita, dataran tinggi dan sering dilewati para petani sayur yang tiap malam mengantarkan dagangannya ke pasar. Setiap pulang siaran saya menggigil kedinginan dan setiap kali pula saya menggerutu, kenapa sih saya dapet jam siaran sama dengan waktunya para kunti mulai gentayangan? kan dingiiiin, apalagi angin malam jember itu dinginnya laknat banget!. Tapi saya jadi malu terus-terusan menggerutu ketika dalam sebuah perjalanan pulang saya melihat seorang bapak tua kurus bertelanjang dada, memikul dua keranjang bayam, jalan menuju kota. Kata si hubby, para pedagang sayur itu biasanya berasal dari desa dan itu cukup jauh dari kantor saya, dan mereka jalan kaki dari sana. Entah berapa kilometer. Melewati tanjakan, turunan, kadang saya lihat mereka menggunakan sepeda kumbang yang harus dituntun ketika mereka melewati turunan curam didepan kantor saya, dan membayangkan mereka memapah sepeda mereka di tanjakan yang cukup tajam dengan muatan sayuran yang amat banyak, sudah membuat saya lelah pun.
Kalo saya kira-kira, harga sayuran itu pastilah murah. Di pasar, satu ikat bayam saja cuma seribu rupiah, pastilah harganya lebih murah lagi kan kalo dari tangan petaninya langsung. Jika dalam semalam para petani ini bisa membawa 50-100 ikat bayam, yaa taruhlah satu ikatnya 250 rupiah, rata-rata mereka membawa pulang cuma 12500-25000 rupiah. Pantaslah jika saya malu. Saya bekerja sangat enak, cuma dua jam, di tempat yang nyaman, gak berat bawa-bawa sayuran, bisa nyanyi tereak-tereak, bebasss, dan jelas dapat bayaran lebih besar dari para petani sayur. Haruslah saya malu. Kok berasa jadi anak manja banget ya. Tuhan sudah kasih saya pekerjaan enak, saya masih menggerutu pun! Tuhan sudah kasih saya penghasilan yang cukup, saya selalu bilang "jauh bangeeet sama gaji gw yang di bandung". Yang saya lupa adalah bahwa saya bukan lagi berada di bandung. Bukan lagi berada di kota besar yang memberikan saya penghasilan lebih dari cukup untuk hidup satu bulan.
Sekarang saya berada di sebuah kota yang standar penghasilannya lebih rendah dari Bandung. Sebuah kota dimana saya masih melihat petani sayur berjalan kaki setiap hari dari rumah mereka nun jauh disana menuju kota cuma untuk dapat penghasilan kurang dari 20 ribu. Sebuah kota yang selalu menyajikan pemandangan menghenyak hati dikala malam. Ya, saya harus malu. Karena telah luput bersyukur atas apa yang saya dapatkan sekarang. Karena telah sangat sulit menerima kenyataan pada keberadaan saya sekarang. Dan betapa manjanya saya karena tidak mau me-reset standar saya. Dan betapa bodohnya saya karena tidak mau bersikap realistis sejak awal, padahal dengan menjadi realistis, saya pasti akan lebih mudah menjalani hidup di habitat yang baru ini. Yup, ternyata diri sayalah yang jadi biang masalahnya.