Well, banyak sekali yang berseliweran di pikiran saya saat ini. Inginnya mengeluarkan itu satu persatu seperti Dumbledore yang bisa mengeluarkan setiap kepingan memorinya, menyimpannya di sebuah wadah, sehingga kepalanya tak terlalu penuh dengan memori.
Sayang, saya tidak hidup di hogwarts. Saya hidup di dunia nyata yang cuma berparalel dengan dunia gaib, tapi bukan dunia harry potter. Didunia nyata inilah, saya, sekarang menjadi ibu dari seorang bayi yang tak perlu sihir untuk menjadi ajaib. Setiap menit bersamanya adalah masa yang tidak akan terlupakan. Seperti baru kemarin saya berada diruang bersalin sambil kesakitan lalu mendengar suara tangisnya. Seperti baru kemarin ia masih merah dan lebam seperti bayi baru lahir pada umumnya.
Sekarang, memori tentangnya meraja di kepala saya. Ia tidak lagi merah, tidak lagi lebam, malah tumbuh menjadi manusia yang sangat enak dilihat. Memperhatikan setiap lekuk bagian wajahnya dan mendapatkan senyumnya adalah masa yang tidak akan saya tukar dengan apapun. Kini ia telah menjadi lebih dari seorang bayi. Ia adalah bagian dari cara kerja Tuhan yang ajaib.
Beberapa hari yang lalu, saya tidak segera pulang sehabis bekerja. Ketika saya sampai rumah dengan terlambat, ia membuang muka. Ketika saya ajak becanda, ia cemberut, tak seperti biasanya. Kata pengasuhnya, tadi ia terus melihat jam, seperti sedang menunggu dan menghitung. Berapa menit ibunya terlambat, Hahahaha. Saya tidak tahu anak 4 bulan bisa melakukan itu. Ia tidak butuh kerja keras untuk membuat saya benar-benar merasa bersalah. Saat itu saya merasa ditampar. Ada seseorang yang sangat membutuhkan saya dirumah, saya malah haha hihi dengan teman kantor. Betapa egoisnya saya.
Lalu tamparan lain ia hadiahkan buat saya ketika ia memberikan pandangan "bunda, can i have your full attention,please?" ketika saya sibuk ketak ketik didepan komputer sambil menyusui. PLAK! sekali lagi saya telah abai dan menjadi sangat egois. Dan ketika saya lihat pandangan matanya, saya tahu saya telah melukainya. Sesorean itu entah berapa kali saya menangis karena benar-benar merasa bersalah. Dan makin sesak rasanya ketika saya menempelkan hidung saya ke hidungnya sambil berkata "maafkan bunda ya nak" dan ia memeluk leher saya, erat. Bagaimana mungkiiin saya masih menyisakan egoisme. Sebelum menulis posting ini, saya memandangi wajahnya lama sekali. Wajah tidurnya yang sangat damai. Ya, ia bukan sekedar bayi. Ia adalah guru kehidupan. Pada hidupnya saya letakkan hidup saya.