Dari sebuah warung, terdengar suara anak menangis. Tidak lama kemudian, seorang perempuan mulai berteriak dalam bahasa jawa. Lantang, kasar dan menusuk.
"Diem kamu! Mau saya pukul ha? Suruh siapa nangis?! diem kamu!"
Suara tangis anak itu makin keras
"Diem! (plak!). Kalo kamu gak mau lagi saya suruh-suruh, tak puntir kepalamu!!"
Astaghfirullah! Saya langsung bergidik ngeri membayangkan pribadi macam apa yang tumbuh dari cara didik seperti itu. Dan memori kolektif saya sontak kembali ke masa lalu, pada mama.
Hari itu hujan deras mengguyur bandung dari pagi hari, berlanjut sampai siang, saat anak-anak SD Pajajaran pulang sekolah. Senyum saya mengembang melihat hujan, tandanya saya akan pulang hujan-hujanan dan bisa maen di genangan dan kubangan lumpur. Kedua sepatu ditalikan lalu saya kalungkan di leher. Tak enak main hujan sambil pakai sepatu. Satu jam kemudian saya sampai dirumah, dengan warna seragam yang sudah berubah. Belepotan lumpur, akibat tadi berlagak jadi kudanil. Melihat saya yang sangat dekil, mama cuma senyum dan nyuruh saya mandi, lalu makan. Ia tidak marah sedikitpun.
Pada hari kartini, semua anak perempuan wajib pake kebaya dan kain, saya pun pake, yang gak mau pake disuruh bikin karya tulis tentang kartini minimal 3 lembar folio, ih males doong. Mama tau saya tidak suka pakai kebaya dan kain. Sebelum memakaikan kain, mama nyuruh saya pake celana pendek, katanya "Kalo kamu susah jalan, angkat aja kainnya, jalan pake celana pendek lebih enak kan?". Saya pun tersenyum lebar. Mama pun tidak mengoleskan make up warna-warni di muka saya, "Kamu bakal kayak ondel-ondel kalo pake make up" katanya. Dibanding berusaha membuat saya jadi putri keraton sehari, mama memilih untuk tetap membuat saya nyaman.
Ketika di kelas 2 sd, saya menjadi korban pelecehan seksual dari guru saya, yang akhirnya membuat saya menjadi anak yang benar-benar berubah, saya cerita pada mama. Ia menangis dan memeluk saya. Saya tau ia merasa bersalah bertahun-tahun atas kejadian itu. Tapi ia tidak tahu, bahwa seberapa burukpun kejadian itu, saya bersyukur telah dibesarkan oleh seorang ibu yang melaksanakan tugasnya dengan amat sangat baik, karena saya bisa saja berakhir lebih buruk jika bukan karena didikannya. Bertahun-tahun kemudian, kejadian itu dan pola didik mama, justru membuat saya menjadi orang yang lebih baik. Saya terbentuk menjadi orang yang kuat, percaya diri dan punya kuasa atas diri sendiri.
Beranjak besar, saya sempet salah gaul. Waktu itu saya kelas 6 SD. Saya dan temen-temen maen ke toko buku, ada stationery lucu-lucu di salah satu rak (pada masa itu stationery lucu adalah hal paling happening dalam pergaulan anak SD). Temen saya ngajakin saya ngutil. Saya pun nurut. Beberapa penghapus mirip permen masuk saku saya. Di luar pintu toko buku, seorang satpam menarik tangan kami. Setelah diinterogasi di sebuah kantor, mama saya dipanggil. Sampai dirumah, mama cuma diam. Saya tau ia marah banget sampai tidak mau mengajak saya bicara. Ketika akhirnya ia mau bicara, ia cuma bilang "Kita memang orang miskin, tapi kita bukan orang jahat". Sejak itu saya tak mau lagi nakal. Tidak diajak bicara oleh mama rasanya menyakitkan.
Belasan tahun kemudian saya sudah dewasa, sudah pacaran, suka berdua-duaan pula, dan mama tau itu. Suatu hari, ia mengira saya hamil karena saya udah lama gak mens (padahal setelah di usg ternyata ini soal hormon apalah itu yang meningkat seiring meningkatnya kadar lemak di tubuh hehehehe). Pagi itu, dengan wajah segan tapi memohon, ia berkata "Unii, uni mau gak cobain ini?" kata mama sambil menyodorkan testpack. Antara kesal dan ingin tertawa saya dibuatnya. Yaa, mama adalah mama. Sama seperti orangtua lainnya yang khawatir anaknya hamil diluar nikah. Tapi yang saya takjub adalah sikapnya yang amat sangat tenang didepan toilet rumah, sebelum saya pake tastpack itu, "Kalo hasilnya positif kan kita bisa pikirin langkah selanjutnya ya ni? syukur-syukur sih negatif". Ketenangannya membuat saya tenang. Saya pun yakin, walau saya hamil diluar nikah, saya tau ia tidak akan menghakimi dan meninggalkan saya sendiri. Ya, ia tidak akan pernah meninggalkan saya sendiri.
Ketika saya memutuskan menikah, ia cuma menatap saya dan bilang "Uni yakin? kalo yakin mama pasti dukung kamu", padahal saya tau pasti bahwa mama ketika itu belum menyetujui pasangan pilihan saya. Dan ketika papa bilang ia tidak akan datang pada pernikahan saya, mama membesarkan hati saya dengan bilang "Biarkan papamu dan kekerasan hatinya, kita berdoa aja semoga ia melunak. Masih ada mama kok".
Ketika saya pamit pindah ke jawa timur, mama bilang "Uni, kalo gak betah disana, kamu pulang ke mama ya nak. Kalo mau cerita, cerita yaa, jangan disimpen sendiri"
Ah mama, tidak ada satupun cerita yang kutulis dengan tidak menangis sambil tersesak-sesak. Siang ini, sambil menikmati kastengel kiriman mama, syukurku jadi berlipat ganda, aku senang karena tuhan menitipkanku padamu"
Hei Ibu Widiastuti yang jago kentut, aku kangen berat!!