Email seorang teman

Minggu, 06 Desember 2009

Sebuah imel saya terima dari  seseorang bernama Via, setelah saya memposting tulisan yang ini, isinya begini :



"Dear mbak brokoli, saya gak sengaja mampir ke blog mbak, dan membaca postingan Angelus Ferutus. Easy for you to say. Kamu bukan korban kan? mungkin mudah buat orang yang gak ngalemin kekerasan untuk ngomong "kuat dong! kamu pasti bisa!", tapi kenyataannya, susah! saya korban kekerasan fisik orangtua saya dan ini membuat saya jadi gak percaya diri, dan jadi lebih sering nyalahin diri sendiri. Saya pengen gak begini, tapi semuanya udah terlanjur membentuk saya"

My dear via, seandainya saya bukan korban. Tapi sama denganmu, saya pun punya latar belakang yang menyakitkan berkaitan dengan kekerasan. Untuk temen-temen yang baca ini, let me share my story. Saya tidak ingin dikasihani, dan tolong jangan kasihan, karena, puji tuhan, saya sudah sampai pada tahap "done with the past".

Memiliki keluarga yang bahagia, punya orangtua yang utuh dan penuh kasih, tentunya jadi impian semua orang. Tapi sayangnya, ini tidak terjadi pada saya. Dari kecil sampai sekarang, saya cuma mengenal kasih sayang mama. Ia bukan janda, tapi mengalami nasib seperti para janda, karena ayah saya kurang bertanggung jawab pada keluarga. Ia mengabaikan kami, tidak berperan sama sekali dalam setiap fase pertumbuhan anak-anaknya (setelah dewasa, saya tahu bahwa ia memiliki keluarga lain), sehingga akhirnya, mama saya mengambil semua peran, sampai saat ini. Karena itu ia harus bekerja ekstra keras agar kami dapat makan dan sekolah. Supaya ia dapat bekerja seharian, saya dititipkan pada nenek. Bukan sepenuhnya salah nenek, jika  yang ia lakukan kemudian pada saya adalah bentuk kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga. Ia tumbuh di masa lalu yang penuh kesulitan. Hidup di jaman penjajahan dan harus menghidupi banyak anak sendirian tentunya bukan hal yang sama sekali mudah. Ia pun sudah sangat terbiasa dengan kultur kekerasan, sehingga cuma cara itulah yang ia tahu. Jadi ketika ia menyeret saya puluhan meter dan memukuli saya pakai sapu lidi  cuma karena saya maen keluar pager, saya cuma bisa nangis. Saya tidak benci dia, terutama ketika setelah dewasa, dari mama saya mendengarkan kisah hidup nenek yang sangat pedih. Lalu saya mengerti siklus itu. 


Bukan cuma dari nenek saya mendapatkan perlakuan penuh pukulan, hinaan dan you name it lah. Dari orang lain dirumah nenek pun saya dapat. Semua perlakuan itu menciptakan sebuah trauma. Saya jadi senang ngumpet di kolong-kolong setiap  kali merasa takut, lalu mulai menciptakan  melodi-melodi asal bunyi dan mulai bersenandung dengan harapan dapat melupakan apa yang terjadi barusan. Dan pada akhirnya, saya menarik diri dari pergaulan teman-teman sebaya, karena bermain berarti mengulangi penderitaan. 

Pada saat yang sama, sekolah yang tadinya menjadi tempat pelarian saya, ternyata menjadi tempat yang justru memberikan kengerian berikutnya. Popi kecil yang periang, cerewet, pemberani tiba-tiba berubah karena seorang guru melakukan kekerasan seksual padanya. Ini terjadi beberapa bulan, sampai menjelang saya kelas 3 SD. Setiap saat saya merasa ketakutan, terutama jika ia sudah memanggil satu persatu anak perempuan ke mejanya untuk membacakan isi CBSA keras-keras. It was nightmare dan saya benci cbsa. Tapi apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil kelas 2 sd? saya baru berani bilang ke mama saya setelah saya kelas 3. Lalu mama lapor ke sekolah, dan diadakan penyelidikan, lalu terurailah kebenaran. Bukan cuma saya korbannya. Si guru dipecat. Kok cuma dipecat? Jangan tanya saya, tanyalah kepala sekolah SD saya hehehehe. Kalo kata imel dari Via, ia jadi tidak percaya diri, well, sama. Saya pun begitu. Gak cuma gak percaya diri, tapi selama bertahun-tahun sampai dewasa, luka itu tetap ada, beserta traumanya. Muka laki-laki itu dan apa yang dia lakukan ke saya sering banget nyelonong jadi mimpi buruk. saya pun jadi benci laki-laki. Sempet juga naksir sama perempuan. Ngerasa bahwa saya perlu melindungi mereka, dan boro-boro saya pengen nikah. Igh! setiap kali inget muka laki-laki itu saya jadi marah, banting-banting segala, dan jadi frustasi sendiri.  Sampai suatu ketika, sebuah dialog dengan seorang teman menyadarkan saya. Saya lalu melakukan "proses penyembuhan" luka batin dan berhasil. Sampai suatu ketika, setelah saya dewasa, saya sebelahan sama laki-laki itu dan saya masih ingat benar detil mukanya, sedangkan dia cuma berdiri disitu, seperti tidak mengenal saya. Dan mungkin memang dia tidak kenal saya, karena saya sudah jauh berubah. Tapi eh kok saya gak marah lagi, padahal bisa aja saat itu saya mengingatkan dia pada apa yang dia lakukan pada saya. Tapi saya tidak lakukan. Saya sudah tidak dendam lagi. I'm done with my self.

Untuk Via, menjadi korban memang  bisa menjatuhkan kita ke titik terendah dalam hidup. Menghancurkan kepercayaan diri kita sampai tak bersisa sama sekali. Tapi seburuk apapun yang kita alami,  kita akan selalu punya pilihan. Then up to us, mau hancur bersama masa lalu, atau mau menjadi lebih kuat untuk masa depan. Dan percayalah, bahwa kita tidak akan pernah sendirian melalui semuanya :)

9 komentar:

minomino mengatakan...

:) :) :)
nice...
saya yakin menulisnya pun butuh kekuatan :)
hebat...
pelajaran berharga untuk si saya :)

de asmara mengatakan...

kok bijak sekali sih? kok bisa sedewasa itu sih?
semoga saya tertular semua virus kebaikan dari isi postingan ini....
(maaf postingan sblmnya dihapus, ada salah tulis :P )

capcaibakar mengatakan...

keren.. dbandingin ini kisah saya ga ada pa-apanya ya... hehe.. oh ya.. bwat mbak via.. orang tua saya juga dulu "mengajarkan" dengan pukulan, libasan, tamparan, cubitan, dsb nya. Bikin saya ga pede? mungkin.. tapi toh saya baik-baik saja. mungkin kalau ga main fisik saya bakal jadi lebih baik.. tapi siapa yang tau..
namun saya berubah loh.. dulu introvert..sekarang jadi berani kenalan.. dulu sama anak suka ga sabaran dan main pukul juga (ya..ini lingkaran setan) sekarang tidak.. sekesal apapun saya sama anak saya.. saya ga main pukul lagi.. perubahan itu cuma makan waktu 3 tahun sejak menikah.. menurut saya ga berat.. kalau mau..masa lalu memang ngebentuk kita.. tapi sedikit.. sekarang setelah kita dewasa..kita bisa dong membentuk diri sendiri.. ga ada campur tangan orang lain ini..ayo berjuang

menjadimanusia mengatakan...

Dear Pop,

Dirimu luar biasa. Tapi memang bagaimana kita ingin membentuk diri kita sendiri.

Kadang merusak diri adalah pilihan yang lebih gampang. Tapi apakah itu hanya satu-satunya jalan?

Thanks for writing it down

Apisindica mengatakan...

darleeeng, gw terharu!!

Gw tahu lu hebat, dan gw yakin lu bisa dari keluar dari bayang-bayang masa lalu lu itu. GW YAKIN!!!! buktinya waktu kita ketemu dulu itu, gw udah tahu kalo lu bukan wanita biasa. Lu wanita hebat!!! gw seneng temenan sama lo. Hehehehe

mo setahun neh dari terakhir kali kita ketemu. kangen!

Teddy mengatakan...

it was amazing story to be told with :) Mb Pop TOP abis, it is just the same with what i've passed in past, ayah saya tidak enggan menggunakan tangan untuk "menegur" saya yang dulu kelewat batas. Dan saya yakin tidak sendiri melaluinya :) at least i still have a wise mom figure

denny mengatakan...

semua orang hebat tumbuh dengan masa lalu yang menghebatkan,
bisa jadi dengan sesuatu yang negatif atau positif
tapi toh kembali lagi ke orang ybs
bisa gak punya sikap yang menghebatkan dia di masa depan kemudian.

cayo pop.
ketik reg spasi popi bin meriem belina bidadari pohon semangka..
hidup popi..!!!

Rava mengatakan...

kisahmu menjadi inspirasiku untuk menjadi seorang wanita yang kuat...
ternyata aku bukanlah satu"nya orang yang mempunyai latar belakang yang buruk walau konteksnya berbeda..

thanks popy...
Keep spirit ya..!

eva mengatakan...

saya bukan korban kekerasan..namun pernah sebagai korban pelecehan seksual dan sama dengan mba puspa itu juga saya alami saat saya kecil..namun hal itu kini membuat saya menjadi pribadi yang tegar dan mandiri

Posting Komentar

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates