Kenalkan, kami adalah manusia gerobak

Kamis, 13 November 2008


Setiap pagi saya melewati jalan pasirkaliki (orang bandung pasti tau jalan ini). Setiap kali pula saya melihat ayah ibu dan dua anaknya, memarkir gerobaknya, kemudian berkehidupan disitu ,di sebuah bagian trotoar. "gw harus bisa ngobrol sama mereka", itu yang ada dikepala saya setiap pagi, tapi herannya, kok belum bisa aja saya wujudkan. Ngobrol dengan mereka tentunya jauh lebih mudah dibandingkan ngejar pejabat untuk minta keterangan mereka tentang kasus yang sedang marak, tapi Entah kenapa, sulit sekalli menghentikan motor saya dan ngobrol dengan mereka, padahal mereka sumber kepenasaranan saya setiap pagi. Di sebuah pagi yang mendung, saya datang ke kantor lebih awal. Melihat langit, panasnya bagus nih buat motret. Gak akan over exposure. Saya tak tentukan tujuan. Meluncurlah saya membiarkan hati membawa kemana. Eee kesanalah saya menuju. Ke sebuah bagian trotoar yang menjadi sumber kepenasaranan saya. Sebuah trotoar yang berada didepan mall yang disebut Hypermall, yang ketika malam bertabur cahaya lampu, dan berseliweran mobil-mobil bagus membawa orang-orang berduit yang kelaparan karena mall ini memang unggul dengan foodcourtnya.


Entah karena dorongan macam apa, tiba-tiba saya gelemporan aja diantara keluarga ini. Salah satu manusia gerobak diantara sekian banyak manusia gerobak di bandung. Bagian trotoar tempat saya ngedeprok memang teduh, karena ada pohon rindang menaungi. Itu pula yang jadi alasan keluarga ini memilih parkir disitu. Sang ibu bernama Sukaesih, sang ayah bernama Asep, anak sulung bernama Ridho, anak tengah Rizky dan eeee ada bayi mungil di gendongan ibu itu. Dia anggota terbaru dalam keluarga, baru beberapa bulan saja usianya, namanya Rayya. Pasangan Sukaesih dan Asep pergi dari Subang menuju Bandung, empat tahun lalu. Berbekal uang seadanya, dengan hanya satu niat, memiliki penghidupan yang lebih baik. Klise bukan? ya, tapi memang itulah kenyataannya. Ketika tanah kampung sudah tidak subur lagi, pilihan yang paling menjanjikan hanyalah pergi ke kota.


Ketika itu mereka masih punya satu anak. Hidup di kota rupanya tidak seperti yang mereka harapkan. Dengan menggunakan apapun yang disekitar mereka, pak asep pun membuat gerobak. Paku sana paku sini, tambal sana tambal sini, asal bisa menampung anak-anak dan menggelinding, itu sudah cukup. Jadilah sejak itu mereka hidup nomaden. Tidak berapa lama kemudian, ibu esih mengandung anak kedua. Si lucu berbaju biru itu. Ketawanya bagus yaa, saya suka dia. Rizky ini senang sekali dipotret, dan saya senang memotret dia. Dia gak mati gaya looo, beda banget sama saya kalo difoto. Si sulung Ridho pun begitu. Seneng banget difoto. Berbeda dengan ridho yang lahir di subang, rizky lahir di bandung, di atas gerobak. Ibu esih yang kuat itu melahirkan cuma dibantu oleh suaminya. Dan lihatlah ridho dan rizky, terlihat gembira ya. Saya rasa begitulah dunia anak-anak. Mau ditengah banjir kek, mau ditengah penampungan kek, mau dalam kondisi apapun kek, selalu mereka bisa tertawa dengan tulus. Setulus senyum dua anak lucu dalam foto saya itu.


Adem hati saya ngeliat mereka, dan jadi bertanya-tanya, jangan-jangan kita yang terlalu sombong dengan mengira mereka menderita, perlu dibantu, dikasihani, padahal berada dalam dunia yang seperti apapun, mereka masih punya cara untuk jadi bahagia. Termasuk ketika harus hidup nomaden. Pagi hari berada di pasirkaliki, siang hari di cibadak, dan malam tiba mereka pergi ke emperan toko pasar baru, kemudian harus ke stasiun dan bayar beberapa ribu untuk mandi mereka berempat di toilet stasiun. Inilah kenyataan sodara-sodara. Ketika mobilisasi bagi kita berarti pindah menggunakan kendaraan, bagi mereka mobilisasi adalah pindah rumah, dan kendaraan adalah rumahnya. Dengan penghasilan paling banyak 30 ribu sehari, pak asep menghidupi keluarganya. Boro-boro mau beli susu, makan cukup pun belum tentu. Tapi kemudian saya kembali bertanya-tanya, kok punya anak lagi sih? gak KB gitu? sadarkah mereka, bagi orang dalam posisi mereka, punya anak berarti nambah beban hidup? bagaimana anak itu kemudian tumbuh? dan pertanyaan bodoh saya "dimana yaa mereka bikin anak?"kalo di gerobak, berarti sangat mungkin terdengar dan terlihat oleh ridho dan rizky dong. Oemjiii (aiiih istilah gw, so last year banget ya! hahaha bae weeee).


Anak ketiga Ibu Esih dan Pak Asep adalah si kecil rayya yang baru berusia beberapa bulan saja. Dia lahir di dalam gerobak, dengan bantuan ayahnya. Rupanya tuhan melindungi ibu ini dengan membuat persalinan yang lancar. Ah tuhan, aku padamu. Ibu esih cerita kalo beberapa hari lalu, ridho sakit tipes dan dia dirawat diatas gerobak. Ada seorang dokter sekitar situ yang memeriksa ridho dengan gratis, tapi teteeep, obat kan harus bayar. Karena tidak mampu memasukan ridho ke rumah sakit, maka mereka rawat saja ridho diatas gerobak. Miris? ah itu kan hanya perasaan Dek Anda saja. Dalam dunia mereka, itulah kenyataan yang tidak bisa ditawar. Buat saya, orang yang sangat beruntung ini, tak terbayang harus hidup diatas gerobak, berpindah tempat sehari tiga kali bahkan lebih, menahan lapar (ini yang lebih gak kebayang lagi), dan menahan banyak hal lainnya. Tapi ini soal ketiadaan pilihan. Saya rasa ketika kita tidak dihadapkan pada pilihan, maka mau tak mau mending jalani saja apa yang ada. Lewati sakitnya dan kita akan terbiasa. Karena saya percaya, keadaan akan memampukan kita.


kepada yang ngerasa...
jika kamu pikir potret kemiskinan itu harus selalu ditulis dengan gaya menguras air mata dan drama menyedihkan, yang biasanya dieksploitasi dalam reality show njiji'i, Maaf, tidak selalu harus begitu. Karena saya sudah muak pada drama, dan karena hidup adalah kenyataan yang tidak perlu membuat cengeng.



p.s : Ming, makasih yaa udah mau merangkai foto-foto gw dengan skill lo yang asoy ituu



13 komentar:

jenny jusuf mengatakan...

Gue pernah ketemu 3 pengamen kecil di bis, kayaknya kakak-adik dan tiga2nya masih imut banget. Yang paling gede dan yang tengah pegang kecrekan dan nyanyi, yang paling kecil ngedarin kantong uang dan habis itu diserahin ke kakaknya. Dari mulai naik, nyanyi, sampe turun (yang cukup jauh karena mereka ngikut sampe terminal), ga henti2nya mereka berceloteh sendiri, becanda, ketawa2, girang banget. Ga peduli bahwa ga banyak penumpang yang ngasih. Ga peduli bahwa kalo keasikan becandaan mereka bisa kebawa bis terus dan ga dapet2 uang. Ga peduli bahwa duit yang kekumpul hari ini belom tentu cukup dibeliin makanan buat bertiga. Ga peduli bahwa hidup itu keras dan bisa sangat ga adil.

Selalu, selalu bisa belajar banyak dari mereka.. dan kadang suka mikir juga, dengan segala hal yang kita bilang 'kekurangan', 'kemiskinan', dan lain-lainnya, kenapa mereka sering tampak lebih bahagia dari kebanyakan kita. :-)

itikkecil mengatakan...

i love this post pop! *keplok2*
pertama, jadi ngingetin kita utk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur. brenti ngeluh dan liat sekeliling kita masih banyak yg lebih sengsara drpd kita tapi ttp tulus ngejalanin hidup ini apa adanya.

kedua, Tuhan itu emang Maha Adil ya pop. seperti lo bilang, sebagai pengganti ketiadaan materi, Tuhan kasih ibu ini kelancaran utk melahirkan 2 org anak diatas gerobak tanpa bantuan medis apapun.

ketiga, bener2 prihatin kalo ngebayangin nasib anak2 ini nantinya. lha wong duit buat makan aja suka kurang, gimana mereka mo sekolah? emang sih sd-smp gratis, tapi kan seragam, buku dan alat tulisnya emang ga pake uang?

keempat, tenkyu sekali lagi ya pop for posting such a good and touching post that bites into reality.

maap panjang neng :D

Michael Siregar mengatakan...

Bagus sekali tulisan Anda...salut...cara penyampaian yang cukup dalam dan berkesan...
Kenyataan hidup kadang menyadarkan kita betapa Beruntungnya kita yang masih bisa hidup dengan segala Fasilitas...seharusnya kita mampu berbuat sesuatu bagi mereka....

Babisuper mengatakan...

ah, Popi. Andai kau tahu hatiku bergejolak membaca ini.


...asal bisa menampung anak-anak dan menggelinding...

farhanah mengatakan...

nice!

hal2 yg bikin kita mikir klo idup ga seberat yg kita hebohin..hehe

farhanah mengatakan...

eh iya, blognya gw link ya...

Enno mengatakan...

keren pop... dan itu senyum mereka emang beneran ceria ya... di jkt, yg hidup dlm gerobak kayak gini banyak banget...
masih inget gak kasus seorang ayah yang memaksa masuk KRL dengan membopong jenasah anaknya karena dia gak mampu sewa mobil atau ambulans...?

popi, thx tulisannya menyadarkan banyak hal :)

novnov mengatakan...

duhhhh pop.....hidup adalah kenyataan yang tidak perlu membuat cengeng........love this one!!!!
OK deh kalo gitu kita harus SEMANGATTTTTTTT!!!!!

Poppus mengatakan...

@ JJ : ehehehe, iya jen. Itu juga yang sering gw liat. Jadi jika ingin tau bagaimana wajah bahagia sesungguhnya, ya liat aja mereka. Jika ingin belajar bagaimana bahagia, belajarlah pada anak-anak ;)


@ Itikkecil : Makasiiih makasiiih. Ya betul, dari mereka kita bisa belajar banyak, termasuk soal keadilan tuhan

@ Michael Siregar : Makasih Bang Michael :). betul sekali bang. Di titik manapun kita berada, hidup akan selalu jadi guru terbaik. Soal berbuat sesuatu, setelah belajar dari sekitar, saya makin yakin bahwa kita tidak bisa memerdekakan orang lain sebelum memerdekakan diri sendiri


@ Babisuper : :)


@ penari jari : emang. Kita mah suka berlebihan, mungkin karena kebanyakan nonton sinetron. gw link lu juga ya

@ Re : thank you darl. Kurasa manusia gerobak ini menjadi bagian dari masalah sosial yang kompleks, khas kota besar. Wah aku gak tau euy kasus yang kamu bilang itu. Tapi membayangkannya aja udah bikin merinding


@ novnov : SEMANGAAAATTTTTT!!!!

raffy mengatakan...

Salut deh, mbak yu. He..he..he..

Kadang kepala kita tuh kudu' diketok ke bawah. Mungkin dengan begini kita nggak micingin mata lagi.

Oh ya... sama! Nggak suka juga sama tayangan yang menjual kemiskinan.

menjadimanusia mengatakan...

m back, mbak pop. Dan memang yang paling nyata adalah kebersyukuran kita. Mereka bahagia kok, tidak merasa tidak mengerti apa yang akan mereka lakukan. Malah mungkin mereka adalah yang paling mengerti dengan apa yang mau mereka lakukan.

Tulisannya kali ini bagus bangget lho

jenny jusuf mengatakan...

Kemaren gue esmosi nonton John Pantau, yang nyorotin pengemis2 di lampu merah.

Yaolo, emang sih pemerintah netepin aturan ga boleh nyedekahin pengemis di jalan, dan mungkin emang ada 1001 alasan kenapa mereka itu harusnya ga jadi pengemis, nyari duit dengan cara lain, dll, dll. Tapi tetep ya, kemiskinan itu ada, dan nyata. Kalau emang perlu disorot, dan dikoreksi, haruskah dengan cara menjadikannya BAHAN KETAWAAN, mengeksploitasinya untuk sebuah acara HIBURAN, dengan becandaan yang NGGAK BANGET?

Rintjez mengatakan...

Tante Popi...

gw nangis baca tulisan elo...

Posting Komentar

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates