"Tokkeee! tokkeee!!"

Minggu, 05 April 2009

Bayangkan anda berada di tepian sebuah tempat yang kanan-kirinya persawahan dengan gradasi hijau muda-kuning-hijau tua-coklat. Tinggal duduk saja di pinggir jalan dan nikmati warna-warnanya, jangan lupa hirup udaranya sesekali, hiruplah dengan tidak buru-buru, biarkan itu mengisi paru-paru, mendesak semua polutan yang selama ini kita hirup di udara kota, dan mari berharap polutan itu akan memampat kemudian menjadi angin dan keluar sebagai kentut. Tengadahkan kepala perlahan, lalu lihat Langit jernih yang hanya ada di tempat yang minim polusi, dengan batas-batas gulungan awan yang tegas biru-putihnya, lalu tengoklah agak kebawah dan lihat permukaan gunung yang tidak gundul. Empat pegunungan yang tidak gundul, karena para kapitalis tidak doyan kota ini, karena kota ini kota pensiunan, katanya. Untunglah.

Kesederhanaan, kemurnian, dan ketenangan ada di kota ini. Kota kecil bernama Bondowoso yang mayoritas penghasilan penduduknya dari bertani. Dan saya tinggal di salah satu desanya, desa Sekarputih. Jangan bayangkan desa tertinggal seperti yang jadi tujuan gerakan ABRI Masuk Desa. Tidak ada lingkungan kumuh disini, jalanan mulus diaspal,
listrik pun sudah lama masuk, makanya pengusaha warnet buka bisnis di desa. Semua warga punya tanah luas, bahkan kebanyakan punya rumah yang sangat layak huni. Permanen, dengan garasi dan mobil didalamnya. Semua didapat dari hasil panen. Alam memberikan segalanya bukan? Selama itu dijaga, alam akan terus berbaik hati.

Jika sore saya mengelilingi desa ini, terdapat para sapi yang sedang leye-leye di halaman. Santai, damai, sesekali menguap, mungkin kekenyangan sehingga mengantuk. Sapi-sapi besar seharga 15 juta, yang menjadi penanda status sosial sekaligus alat investasi. Makin banyak sapi seseorang, makin kaya lah dia. Hitung saja, jika saya punya 3 sapi maka saya punya duit 45 juta sedang nangkring di kandang. Blackberry? gak laku!. Hanya sapi, sodara-sodara. Disini tidak ada makhluk-makluk social climber yang memaksakan kemampuan agar diakui oleh sebuah kelompok. Terdengar menyedihkan dan putus asa. Jika punya uang ya beli sapi dan sawah, jika tidak ya sudah, jadi penggarap sawah orang saja, atau bertani sayuran. Sederhana kan? Tak perlu takut tidak bisa makan, toh semua alam sudah sediakan. Untuk memasak pun tinggal ambil kayu bakar di halaman belakang untuk bahan bakar, dan petik sayuran dari kebun sendiri. Mau beras? jika tidak punya sawah, ya beli saja berasnya dari tetangga yang punya sawah, dan jika tidak punya uang, ya barter lah dengan sayuran. Mau makan ayam? tinggal tangkap ayam sendiri dan sembelih, jika tega. Merasa kurang protein? bangun saja pagi buta, lepaskan ayam-ayam yang dipunya ke halaman belakang, tunggu sebentar dan ayam akan bertelur, lalu punguti telur-telur kampung itu dari permukaan tanah, Fresh from the ass. Tidak repot, tanpa pretensi, apa adanya, tidak licik, tidak politis, dan tidak merugikan. Tidak diperbudak uang. Kemudian ketika malam tiba, keluarlah dan duduk-duduk di halaman depan lalu lihat langit sambil hirup udara malam pedesaan yang segar. Mau hitung bintang pun bisa, dijamin bakal cape menghitung karena langit disini pantang menyembunyikan bintang. Sesekali pejamkan mata dan nikmati bunyi jangkrik, kodok, riak air di saluran irigasi, ayam insomnia yang berkokok di tengah malam, diselingi si tokek yang tidak pernah mengeluarkan bunyi lain selain "Tokkeee! tokkeee!!". Amboy...




7 komentar:

Yans mengatakan...

Cerita yg jujur tentang kehidupan desa yg sedikit agak jauh dari kehidupan metropolis.

menjadimanusia mengatakan...

hawa segar yang sangat dinikmati...

Socialite dan social climber...

semua jadi sederhana...

isn't it nice?

Enno mengatakan...

huuu jadi pengen mudik ke garut...

ini desa banget kayak disonoh :)

Jenny Jusuf mengatakan...

Thank you for sharing this, Popi dear.. gw mau nangis bacanya. Kangen Salatiga. Kangen kehidupan serba sederhana dimana segala sesuatu berjalan apa adanya dan kita gak kenal apa itu pretensi. Kangen sayur-mayur yang selalu segar karena dipetik dari tanah sendiri. Kangen hawa segar pagi hari, udara bersih yang bebas dihirup sedalam-dalamnya. Kangen pohon yang hijaunya hijau dan langit yang birunya biru. Kangen sapaan hangat dan senyum ramah penduduk sekitar yang selalu tulus. Bersyukurlah lo bisa merasakannya Pop, karena di sini, semua itu ‘mahal’ banget.

Oh, BTW, verifikasi kata buat komen ini: asoranse. hiahahahahaha.

sintingmaut mengatakan...

berdiri di tengah sawah... tangan terbentang... angin sepoy sepoy menyeruak seluruh tubuh dengan udara segarnya....

Arrrghhh.... gw ga pernah ngerasain kondisi itu dear... huhuhu

*poor of me*

Poppus mengatakan...

Yans : Gara-gara kamu niiiiiih heheheh

Daysandminds : Yap! di jakarta gak ada kan jeeeng

Enno : Ya mudik sonoh. Deket ini. Eh awas dateng-dateng kesana dijodohin loo hihihih


JJ : Ah lu pasti bakal demen kalo ada di tempat gw ini j. Btw, asoranse itu adalah asuransi, dalam bahasa bencong heheheh

Sintingmaut : Hai darleng. Masih sinting nih? ihihihihih. Ya iyalah gak pernah ngerasain, ngendon mulu di kota metropolitan sih nek ah. MAen dong ke desa hehehehe

Fahrizal mengatakan...

assalamualaikum salam kenal... ngomong-ngomong sawah, jadi ingat kampung halaman kakek di Bima NTB

Posting Komentar

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates