Bisakah?

Rabu, 08 Oktober 2008

Jika ditanya, siapa orang yang mentalnya paling kuat? sudah pasti jawabannya orang miskin atau orang yang pernah miskin. Kemiskinan dengan segala spektrumnya memberikan banyak sekali pelajaran hidup. Ada sebuah joke sarkas yang pernah saya dengar di lingkungan para aktivis "ah kalo para aktivisnya sendiri belum pernah ngerasain miskin, jangan harap bisa membela kaum miskin dengan sepenuh hati. Paling cuma retorika aja. Atau mereka dibayar mahal oleh NGO".

Bicara soal kemiskinan memang susah-susah gampang. Untuk mengertinya, kita memang harus merasakan sendiri. Jadi bullshit lah itu yang dibilang Jusuf Kalla bahwa dia mengerti penderitaan rakyat, wong dia born rich. Saya jadi ingat pengalaman masa kecil saya. Dulu saya memang miskin (sekarang pun masih, tapi sudah jauh berkurang hahaha). Ibu, saya dan adik tinggal di sebuah rumah tua dengan satu kamar. Hanya kuasa tuhan saja yang membuat rumah itu belum ambruk. kira-kira sepertiga atap rumah saya waktu itu menganga dengan manisnya.

Bisa dibayangkan, ketika hujan, semua air hujan masuk rumah, alhasil kami bertiga sibuk gila mencari wadah apapun yang bisa menampung air hujan agar rumah kami tidak banjir. Tidak cuma itu, ketika malam menjelang, selain udara malam yang menerpa kami yang ada didalamnya, para binatang malam seperti kelelawar, burung, dan kecoa pun dengan bebasnya masuk rumah. Tapi dasar anak-anak, semua konsekuensi kemiskinan ini jadi hiburan bagi saya dan adik. Saya masih ingat, setiap selasa malam dan kamis malam, itu musim kawinnya kecoa. Ada beberapa kecoa yang terbang dan loncat indah disemua bagian rumah kami. Kecoa satu glebeeerrrr! dilanjutkan kecoa dua glebeeerrr! kecoa tiga pun tak mau kalah. Itu mereka disana kecoa-kecoa hitam panjang dengan libido yang udah nyampe ubun-ubun terbang-terbang memikat sang betina. Sungguh aktivitas yang bikin kami bertiga ketakutan. Kurang ajar! padahal badan kami lebih besar, kok takut ya? Dan kenapa juga rumah kami yang dipilih untuk arena kawin?! tapi...dibalik ketakutan itu, kami punya aktivitas yang menyenangkan. Menghindari templokan kecoa! yippiiii!! Kami lari kesana kemari, berbekal apapun saja yang bisa menepak para kecoa, dan ditengah-tengah pelarian itu, kami tertawa-tawa, karena memang aktivitas itu menyenangkan. Itu membuat kami lebih dekat.

Belum lagi, konsekuensi kemiskinan lainnya, ketika semua hal harus kami bagi. Terutama makanan. Sudah tidak aneh, satu roti dibagi tiga, atau dibagi dua dengan adik saya, dan saya dapat bagian yang lebih sedikit. Kata mama karena saya kakak, jadi harus mengalah. Menjadi miskin bagi saya tidak terlalu buruk. Yaa mungkin karena saya pun berada pada level kemiskinan yang tidak terlalu parah. Walaupun keterbatasan menjadi kawan akrab. Sejak kecil, saya sudah belajar menahan keinginan. Waktu SD, saya harus pulang jalan kaki karena tak punya cukup uang untuk ongkos, atau kalo saya lagi gak enak badan, saya naik angkot tapi saya jadi kriminil juga (maaf pada semua pak sopir korban saya). Saya nyetop angkot yang agak penuh, pas turun saya bilang "Pak! ongkosnya dibelakang!" lalu ngacir sambil nyengir. Keterbatasan itu tidak menyiksa kok asal kita anggap itu menyenangkan. Setiap kali hujan, saya buka sepatu, saya ikatkan kedua sepatu saya lalu saya kalungi. Saya hujan-hujanan dengan telanjang kaki. Berkecipak-kecipak di genangan air, kadangkala sambil berendam hehehehehe. Tidak takut kotor, tidak takut sakit. Hey! saya kan anak miskin, manalah anak miskin punya takut. Mati pun tak takut, karena kami tak punya apa-apa. Hujan-hujanan dan bermain dengan genangan air itu menyenangkan! Membiarkan semua rintik hujan menyentuh wajah dan mendengarkan bunyi rintik jatuh ke tanah itu rasa yang luar biasa. nah, anda semua yang waktu kecilnya kemana-mana naik becak atau naik mobil pasti gak pernah kan ngerasain itu?

Menjadi miskin juga membuat kita "kaya". Menyadari kami tidak punya uang untuk mengursuskan saya bahasa inggris, mama pun menjadi pengajar saya. Beruntung, saat sekolah dulu ia termasuk anak yang suka menyimak pelajaran bahasa inggris. Semua benda-benda yang ada didalam rumah ia ajarkan saya bahasa inggrisnya, pun dengan segala sesuatu diluar rumah saya. Dan di umur 4 tahun, saya sudah menguasai ratusan kosakata bahasa inggris (itu luar biasa untuk anak-anak di jaman saya).

Semua benda adalah objek menarik untuk belajar. Mama saya membuat itu menarik. Mama juga mengajari saya matematika praktis. Dan ini membuat saya lebih pintar dari anak-anak seumur saya. Mama pun melihat saya sudah layak masuk sekolah. Dan ternyata, dengan bantuan mantan guru mama saya waktu sd, mulailah saya masuk sd di usia kurang dari 5 taun dan saya jadi anak termuda di kelas. Semua alat belajar saya, mama buat dari benda-benda sekitar. Jika waktu itu, teman-teman saya pake cipoah, saya pake lidi. Sapu lidi mbah saya abis terus tuh saya pake buat alat hitung hehehe. Cuma saya satu-satunya yang membawa sebundel lidi sebagai gantinya cipoah. Tapi ini justru membuat logika saya terasah.

Menjadi miskin juga membuat kita sangat bertoleransi. Bertoleransi dengan rasa lapar, sekaligus bertoleransi dengan keinginan. Sudah biasa bagi saya makan sup daun kelor yang diambil dari belakang rumah. Atau tumis daun katuk yang dipetik dari kebun sendiri. Saya masih ingat, pagi-pagi saya grasak grusuk diantara pohon waluh yang merambat. Apalagi kalau bukan untuk memetik waluh. Tidak takut ulat, tidak takut ular pohon yang warnanya sama dengan dahan waluh, tidak takut apapun. Saya cuma ingin dapat waluh besar-besar untuk kami makan. Dan aktivitas cari lauk untuk makan ini saya anggap bermain. Yaaa, apalagi yang bisa dilakukan oleh anak miskin selain menganggap hidup ini lahan bermain. Tapi kemudian uang masuk dalam hidup kami. Ketika mama saya mulai mapan, punya pekerjaan dan naik jabatan terus, hidup jadi tidak terlalu menyenangkan. Bukan kami tidak bersyukur karena punya uang dan bukan pula kami ingin kembali miskin, tapi..lama-lama uang jadi hal yang amat penting. Bisa gak ya kita bilang cukup pada uang?

15 komentar:

plain mengatakan...

"Saya hujan-hujanan dengan telanjang kaki. Berkecipak-kecipak di genangan air, kadangkala sambil berendam hehehehehe. Tidak takut kotor, tidak takut sakit. Hey! saya kan anak miskin, manalah anak miskin punya takut. Mati pun tak takut, karena kami tak punya apa-apa."



iya. gw senyum2 bacanya pop.

=,]

misskepik mengatakan...

"ah kalo para aktivisnya sendiri belum pernah ngerasain miskin, jangan harap bisa membela kaum miskin dengan sepenuh hati. Paling cuma retorika aja. Atau mereka dibayar mahal oleh NGO".

mbak pops, tiap pagi, aku dijemput mobil kantor. dingin, nyaman. mo kemana mana diantar driver. seharusnya aku bersyukur? ya, aku bersyukur, tapi aku akan jauh lebih bersyukur kalo misalnya, 60 KK di Nesue kemarin tidak harus kehilangan rumahnya karena kebakaran yang 'disengaja'. miris mbak tiap pagi selaluu saja merasa bersalah.

huffff..

btw, kenapa kita selalu kebetulan punya sense yang sama sih
hihihi

simpleBlog mengatakan...

gw selalu bingung..

perbedaan antara "kaya" dan "miskin" selalu tipis buat gw..

tapi yang ada adalah gw selalu bersyukur sama apa yang sudah Tuhan kasih, dan gw yakin semua ada maksud dan tujuannya, tinggal kita aja sebagai manusia pinter2 nyikapinnya..

saat ini gw "miskin" dan suatu hari nanti gw harus "kaya"..

katakan "tidak" pada uang, mustahil..



reality check, baby..

Hanny mengatakan...

Masa kecil yang menyenangkan ya mbak? hehehe, jadi senyum-senyum bacanya :)

Eh btw, aku juga suka makan daun katuk dari halaman depan rumahku loh mbak :P

Rintjez mengatakan...

Tante Popi...

Ga nyangka kehidupan kamu cukup "TOUGH"

Tigis mengatakan...

wah keren. Setelah semua tampilan ce2x kota yg dipenuhi dgn kemewahan ada yg justru lebih mengutamakan nilai2x kesederhaan dr pengalaman menghadapi kemiskinan. Elo kyknya asik Pop.

btw, dulu gue ngalamin masa paling miskin justru pas kuliah. Makan cuman sekali sehari jg pernah krn duit kagak ada :mrgreen:

menjadimanusia mengatakan...

kadang kala... hidup susah itu harus ada supaya kita bisa menghargai waktu kita memiliki...

gw pernah kerja di salah satu daerah konflik di puncak gunung sebuah pedalaman. Waktu itu keadaan tempatnya ada listrik hanya jam 6-11.30 malam, sisanya tidak berlistrik. Sinyal tidak ada, ikan susah, daging mahal. Kalau mau ke kota terdekat harus motong hutan (yang dalam keadaan kering) 4 jam.

Waktu mau berangkat ke atas, orang di kota terdekat dah ngomong macam2 terutama tentang magic mistik dan segala macam. Tapi apa mau dikata... tanggung jawab harus dijalanin, gw dah setuju.

Tapi setelah beberapa saat, dengan menyesuaikan diri (untung gw bisa vegetarian), gw bisa makan daun kangkung yang dipetik di depan rumah, ato makan pare rebus dengan gula dan garam yang ngerambat di pagar. Kadang kala ada pesta kami makan daging yang dipotong. Kopi merupakan barang yang mudah didapatkan, jadi saya kadang memetik kopi di kebun tetangga dan menyanggrainya sendiri... dan terakhir dikasih sedikit mentega blue band yang sudah saya bawa dari kota. kopi itu rasanya nikmat sekali.

Seminggu gw hanya menghabiskan 50ribu untuk hidup dan 50ribu untuk menelpon orang tua. Tapi yang gw rasakan adalah kebersahajaan dan kesederhanaan membawa kedamaian besar, meskipun waktu itu tempat itu sedang dalam keramaian yang besar pula. Kadang memang ada rasa terancam. Tapi keterancaman itu tidak sebanding dengan kedamaiannya.

Kalau mau dibilang... mungkin orang kota kampungan... ato orangnya kotaan... jadi kaget aja ada dunia damai sejahtera di sana...

Bahasannya bagus banget... gw suka banget sama tulisan yang satu ini...

Poppus mengatakan...

@ plain : selamat senyum ;)

@ misskepik : i assume, kamu sedang merasa seperti buah simalakama ya? Semoga impian terjun ke masyarakatnya tercapai :)

@ Simpleblog : Bagoooos


@ Tigis : gw emang asik gis. Lu aja belum kenal gw ahahahaha

natazya mengatakan...

cup cup mwah mwah

*hugging bu poppay!!!!

duit bahaya emang ya....

siyalan!

Anonymous mengatakan...

Mungkin bukan kebutuhan akan uang yang harus diubah Jeng (karna itu gak mungkin), tapi menghidupkan kembali kebersamaan itu mungkin yang harus diusahakan lagi...
Semangaaaattt!!!

gendhis mengatakan...

Yahh, munculnya anonim??! komen di atas itu dariku ya Say... :D

Yans mengatakan...

Ketika aku masih kecil, aku pernah bilang pada ayahku, "yah, aku pingin beli baso". Ayahku menjawab dengan mata berkaca-kaca, "nanti ya sayang, kalo ayah dah dapat uang". Jiwa kecilku tidak berontak walau aku tidak tahu kapan ayahku khan dapat uang. Saat itu aku, ayahku dan ibuku tinggal di sebuah kios tempat ayahku bekerja. Kios itu kira-kira berukuran 3 x 3 meter persegi. Kalau malam tiba ayahku tidur di bangku panjang seperti bangku abang baso. Sementara aku dan ibuku tidur di lantai beralaskan tikar yang diberi pemilik kios dan mungkin diambilkan dari kandang ayam (karena saat pertama kali diberikan banyak kotoran ayamnya dan aku bersama ibuku harus mencucinya disungai). Aku dan ibuku baru bisa masuk kios setelah kios tutup. Jadi siang hari aku dan ibuku duduk2 di emperan toko, atau jalan2 sambil menunggu malam.

Sayank, aku juga pernah miskin lho.

novnov mengatakan...

hohoho gw jg pernah ngerasain susah kok say...mungkin nggak sampe miskin tapi juga jauh dari kaya...ngepas kayaknya ya hehe....tapi yang jelas tetep aja gue dulu ngerasa bahagia kok.....

Poppus mengatakan...

@ Hanny : Yaa ada bagian-bagian yang menyenangkan laah hehehe. Daun katuk itu bagus buat kesehatan loo. Memperbanyak ASI NYahahahahahah


@ Rintjez : ooo tunggu sampe kamu tau lebih banyak darl. You'll be surprised heheheheh


@ Daysandminds : Waaw! pengalaman kamu edun beneerr. Saya aja belum tentu bisa tahan deh. Tapi pengalaman yang kayak gitu, pasti bikin kita lebih bersyukur kan?

terimakasih yaa atas apresiasinya pada tulisanku ;)

@ Natazya : Weei si blogger yang hilang telah kembali hahahaha *hug tasya back

@ Ghendis : Eh melepaskan ketergantungan pada uang itu sangat mungkin lo say. Asal kita mau dan niat. tapi tentunya berkonsekuensi. Tapi bukankah segala keputusan memang tidak lepas dari konsekuensi? ya kan ya kan heheheh


@ Yans : my dear love, maybe on one moment someday, we can laugh out loud about our past. i'm gratefull for the past god has given me

@ Novnov : Hai bu novnov yang lagi jadi inem hahahaha! lu pasti setuju bahwa dalam keadaan apapun, ketika kita berdamai dengan keadaan itu, maka kita bisa bahagia

Enno mengatakan...

hey, aku terharu bacanya. aku juga pernah ngalamin masa-masa yg hampir sama. serba pas-pasan waktu kecil. dan kamu bener pop, justru saat itu rasanya lebih menyenangkan menjalani hidup ya :)

Posting Komentar

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates