Ia Saminem....

Selasa, 21 Oktober 2008

Suatu hari di tahun 1965...


Ia Saminem. Perempuan jawa, tak bisa baca, rentan jadi janda, punya anak beberapa.


Telah puluhan tahun ia hidup di tiga masa sulit negeri ini. Jaman belanda, jaman jepang dan masa pemberontakan PKI (belum ditambah dengan masa sulit setelah tahun 65). Dulu, saminem pemudi impian pemuda. Tubuhnya yang tinggi sintal, kulit kuning langsat, payudara penuh, pinggul besar, indah pakai kebaya, pastilah membuat ia menjadi incaran para jejaka dan duda, karena saminem punya semua kriteria perempuan cantik pada masanya. Sebutlah berbagai istilah pujangga lama serupa alis bak semut beriring, dagu bak lebah bergayut, dan berbagai idiom lain, semua ada di saminem.


Dari jawa, saminem hijrah ke Bandung, namun tak juga menemukan kehidupan yang lebih baik. Terpisah dari suami, dan harus membesarkan 6 anak, ia tak punya waktu untuk menjadi lemah. Apalagi ketika itu jaman perang. Pernah suatu kali Saminem harus menyeberang sungai membawa semua anaknya, dan berendam disitu sampai keadaan aman. Ketika keluar dari air, beberapa lintah sudah menempel dengan aduhai, semula kurus menjadi gemuk oleh darah.


Ooo ini yang menjadi alasan mengapa di sekujur betis saminem ada beberapa bekas luka yang mengerut. Bayangkan saja suasana ketika itu. Ketika kau bisa mati kapan saja ditebas golok, atau ketika kau kira aman kemudian kau keluar dari persembunyian, namun kau roboh beberapa detik kemudian dengan lobang peluru di kepala dan meninggalkan anak-anakmu yang dalam sekejap jadi yatim. Iya, itulah jaman perang, sodara-sodara. tak sedikitpun bisa terbayang betapa mengerikannya saat itu. Dan saminem menjadi bagiannya. Menjadi satu diantara jutaan perempuan dan anak-anak korban perang.


Suatu hari, saminem habis dapat uang dari temannya, dan ia punya kebiasaan menraktir anak-anaknya makan di warung nasi, ketika ia punya uang lebih. Makanlah mereka di warung nasi pinggir pasar. Saminem dan dua anaknya yang masih kecil, diantaranya si anak rambut merah. Ketika makan, ada segerombolan orang menuju pasar sambil teriak-teriak mengacungkan golok, clurit dan arit. Mimik mereka seperti sedang mencari, orang mana yang akan mereka bantai hari itu. Dengan sigap, saminem menarik kedua anaknya dan menaikkan mereka kedalam beca. Mamang beca yang juga ikut ketakutan mengayuh becak dengan emosional, ingin cepat pergi dari situ, karena hanya ada dua kemungkinan yang terjadi jika ia masih disitu. Mati jadi korban atau menyaksikan pembantaian. Mamang becak, saminem dan kedua anaknya selamat.


Kepedihan akibat perang terus berlanjut. Saminem kembali menjalani harinya. Tidak ada waktu untuk menangis, untuk menjadi lemah. Demi dapat uang untuk hidup, ia berjualan lotek. Pagi buta ia sudah kepasar, membawa puluhan kilo sayuran karena lotek buatannya laku luar biasa. Para serdadu suka loteknya. Para tukang beca ketagihan lotek saminem. Rasa enak, harga murah, ay beli.


Dengan lotek itu pula saminem menghidupi keenam anaknya. Saminem dan enam anaknya selalu berbagi. Hidup pun harus sangat irit, karena memang tak punya apapun untuk dihamburkan. Makan malam dengan segelas beras yang kemudian dibuat bubur amat encer sehingga cukup untuk 7 orang adalah hal biasa. Jika bubur encer jadi makanan utama, jangan tanya soal lauknya. Hanya setahun sekali, anak-anak saminem bisa makan daging.


Diantara 6 anak saminem, ada seorang anak perempuan yang kuatnya sudah terlihat dari kecil. Mungkin karena sudah terbiasa lari menyelamatkan diri dan sembunyi di tempat-tempat yang sulit ditemukan. Anak itu berambut merah tanda kurang gizi, kurus, jarang mandi, baju dekil dan itu-itu saja karena ia hanya punya dua stel, tapi ia super pede dan amat lincah. Suatu hari, tibalah saatnya anak rambut merah bisa sekolah. Itupun bukan dibiayai oleh saminem, melainkan oleh sodara jauh yang ningrat kaya.


Si anak rambut merah ini hanya punya dua seragam yang dicuci dua bulan sekali. Ibunya terlalu sibuk jualan sampai ia tak sempat mencuci. Hari ini pakai seragam A, kemudian pulang sekolah seragam dilempar ke kolong kasur. Besoknya, pakai seragam b. Besoknya lagi, lempar seragam b ke kolong kasur dan ambil seragam A untuk dipakai. Begitu seterusnya. Tidak aneh jika si rambut merah dibilang jorok. Sudah jorok, kelaparan pula. Para tetangga yang keadaannya lebih baik dari saminem dan keluarga, kerap kali mengejek si rambut merah dengan sebuah kalimat yang dinyanyikan "Roti kabakaraaan, si tuti kalaparaaan"*. Nah, anda jadi tau kan siapa nama si rambut merah.


Kini saminem sudah meninggal. Ia meninggal membawa kekuatannya. Ia yang tak pernah sakit parah, tidak punya penyakit jantung, diabetes, ginjal atau kolesterol, menutup mata di usia 93 tahun. Dimakamkan satu liang dengan suaminya yang meninggal puluhan tahun lalu sehingga saminem jadi janda sejak muda. Saminem adalah mbah saya tercinta namun rasis itu, dan si anak rambut merah itu adalah ibu saya :)


Roti kabakaran, si tuti kalaparan"* = Roti kebakaran, si tuti kelaparan

15 komentar:

Rintjez mengatakan...

Tante Popi...

No wonder you are tough!!!!
It's in your blood my dear :)

menjadimanusia mengatakan...

ugh... turut berduka cita

simpleBlog mengatakan...

pop..

kenapa selalu ada cerita yang menarik dari lo dan dari sisi manapun yang lo angkat keatas..

kenapa selalu bagus cerita yang lo buat sehingga membuat gw iri seakan2 gw gak punya sesuatu yang bagus untuk diceritakan..

salut untuk lo pop..



*am terribly sorry with your lost.. she's really tough..

Apisindica mengatakan...

Kuucapkan selamat atas hadirnya seorang penulis berbakat. Ayu utami versi lain telah lahir!!!!!
You are so feminist, my dear!

koko mengatakan...

Wah...keren banget...
i like your story..

Poppus mengatakan...

@ Rintjez : Hooh, sepertinya begitu. Para perempuan di keluargaku kayaknya keturunan perempuan amazon deh hehehe


@ Daysandminds : Thank you dear. Mbahku meninggalnya waktu bulan Maret taun ini, dan kemaren tiba-tiba mamaku cerita soal masa kecilnya, jadi keidean untuk ditulis


@ Simpleblog : Dear adit, kemampuan berceritalah yang jadi kekuatan sebuah tulisan heheheh. Semua orang juga punya hidup yang menarik say, tapi akan jadi menarik untuk orang lain kalo diceritakan dengan menarik ihihihihi


@ Cerita yuda : HAHAHAHA! ah berlebihan kamuh. Eh btw, aku belum pernah baca lo bukunya Ayu utami hehehehe


@ Koko : Makasiiih. Saya emang keren. *gubrak. Syukur kalo suka, kalo gak suka, dosa. Hahahah

amelia masniari mengatakan...

tulisan yang ini bagus banget yah... wah... kamu penyiar yah... asik banget ya..........

The other side mengatakan...

ouw.. bener2 cerita yg menyentuh sekaligus ada unsur2 kocaknya

btw, salam buat tante tuti yaa.. insiprasi seirang wanita tangguh :)

Enno mengatakan...

keren... diceritakan dengan nada ironis yang nggak sinis dan gak cengeng... ah popi, asiklah pokona :D

novnov mengatakan...

speechless neng!

misskepik mengatakan...

ihhh
merinding sih mbak pops

bagus :)

Yans mengatakan...

Setahuku rambut mama nggak merah tuh heheheh

Poppus mengatakan...

@ Amelia Masniari : makasih mba :). Iya aku penyiar. Kata orang sih asik, padahal...emang asik haha


@ nancy : terimakasih nan. Nanti aku salamin ke mamaku ;)

@ Enno : ah kau bisa sajah. Sebetulnya cerita aslinya menyedihkan say, tapi aku bosen sama cerita2 sinetron hehehe, jadi aja keluarnya begono

@ Novnov : Semoga setelah speechles tidak langsung pingsan

@ Misskepik : ah mungkin pada saat bersamaan dengan kamu baca posting ini, ada arwah susanna lewat deket kamu


@ Yans : waktu kecil maaas waktu keciiil. Ih tante gigit kamu!

gendhis mengatakan...

Aku ngeri pas yang bagian nyeberang sungai trus berendem nunggu sampe aman dulu dan digigitin lintah! Serem aja ngebayanginnya.. Jadi gak heran kalo Mbak Popi jadi setangguh sekarang! Aku harus belajar banyak darimu Mbak Pop!! :D

awi mengatakan...

syerem banget ya hidup di zaman perang, hebat si mbah, bisa bertahan hidup hingga 93 tahun

Posting Komentar

Copyright © 2010 ParadoxParade | Free Blogger Templates by Splashy Templates | Layout by Atomic Website Templates