Hargamu tak lebih dari seekor sapi, jadi jangan berlagak!
"Datanglah, reguk nikmatnya, dan jangan lupa sediakan sapi berikutnya jika ingin datang lagi", kata si mucikari bandar sapi sambil mengepulkan asap rokok lokal ber logo gagak hitam, seraya tersenyum manis pada Bapak tambun berbaju safari yang katanya petinggi dari Surabaya. Lupakan uang puluhan juta atau cek, itu semua tidak berlaku disini. Cuma terima sapi, itu saja! Jenis pembayaran yang kadangkala merepotkan pelanggannya, tapi toh, semuanya manut saja demi "merasakan" perawan desa berusia belia.
Entah punya pertalian apa dengan sapi, tapi si mucikari berkalung emas satu renteng ini hanya mau dibayar dengan sapi. Semua "anak-anak"nya sama harganya dengan seekor sapi besar atau tiga ekor untuk perawan muda belia. Mucikari itu bernama Cak Mudin, yang terlahir dari istri kelima seorang mantri desa. Cak Mudin berkulit hitam legam dan berambut merah, karena kebanyakan ngangon kerbau sewaktu kecil sampai remaja. Ia bertampang garang, tapi hanya ingin dipanggil mamih. Bukaan, dia bukan wadam, dia cuma merasa kata "mamih" itu enak didengar. Terasa absurd? tidak juga, karena tidak ada ukuran kenormalan dalam hidup cak mudin.
"Datanglah, reguk nikmatnya, dan jangan lupa sediakan sapi berikutnya jika ingin datang lagi", kata si mucikari bandar sapi sambil mengepulkan asap rokok lokal ber logo gagak hitam, seraya tersenyum manis pada Bapak tambun berbaju safari yang katanya petinggi dari Surabaya. Lupakan uang puluhan juta atau cek, itu semua tidak berlaku disini. Cuma terima sapi, itu saja! Jenis pembayaran yang kadangkala merepotkan pelanggannya, tapi toh, semuanya manut saja demi "merasakan" perawan desa berusia belia.
Entah punya pertalian apa dengan sapi, tapi si mucikari berkalung emas satu renteng ini hanya mau dibayar dengan sapi. Semua "anak-anak"nya sama harganya dengan seekor sapi besar atau tiga ekor untuk perawan muda belia. Mucikari itu bernama Cak Mudin, yang terlahir dari istri kelima seorang mantri desa. Cak Mudin berkulit hitam legam dan berambut merah, karena kebanyakan ngangon kerbau sewaktu kecil sampai remaja. Ia bertampang garang, tapi hanya ingin dipanggil mamih. Bukaan, dia bukan wadam, dia cuma merasa kata "mamih" itu enak didengar. Terasa absurd? tidak juga, karena tidak ada ukuran kenormalan dalam hidup cak mudin.
Cak Mudin punya otak dagang amat cemerlang sehingga jalur pemasaran, distribusi dan semua soal bisnisnya, ia pikirkan benar. Ia punya kawan sedari kecil bernama Mat Jubek, jangan lupa hilangkan bunyi "k" nya, lalu beri penekanan pada huruf e. Jubek artinya jelek. Ya, kawan dari kecilnya ini memang bermuka jelek, tapi nasibnya sama sekali tidak jelek. Ia adalah saudagar sapi terkaya di kota itu. Dan Mat Jubek lah yang direkomendasikan Cak Mudin pada para calon kliennya. Tidak perlu bawa sapi dari kota lain, cukup hubungi asisten Mat Jubek dan seekor sapi besar akan dikirim pada Cak Mudin sebagai bayaran atas "anak-anak"nya. Sapi Mat Jubek laku, Cak Mudin dapat komisi , daan dapat sapi tentunya. Semua pun riang gembira. Tidak terkecuali "anak-anak" Cak Mudin. Untuk mereka yang "berprestasi", menjelang hari raya, mereka akan mendapatkan seekor sapi, untuk dibawa pulang ke desa. Karena itu, anak-anak Cak Mudin pun terlihat riang gembira. Beberapa diantaranya bahkan sudah bisa mengirimkan orangtua mereka berhaji. Terdengar menyenangkan? tentu saja. Cak Mudin memang pandai membuat semua orang senang. Pun para penjual rawon dikotanya. Banyak kios rawon menjadi perantara bisnis Mat Jubek. Dari setiap kliennya, mereka dapat komisi lumayan. Lebih besar dari harga 50 mangkok rawon. Kata kuncinya adalah "pesen rawon spesial!" dan calon klien akan langsung diantar ke Cak Mudin. Untuk perantara yang "berprestasi", Cak Mudin memberikan reward berupa anak sapi, di akhir tahun. Ya, memang sapi lagi sapi lagi. Tapi itulah hidup Cak Mudin, seputar dunia sapi. Seputar senang-senang, dan membuat semua orang senang. Dan ia tidak menawarkan janji manis akan membuat senang. Yang ia lakukan adalah nyata. Benar-benar nyata senangnya.
4 komentar:
kalau kata orang... itu salah... tapi kalau dari sudut kenyataan? Ya... itulah senang dari skala orang yang dianggap lain oleh dunia...
Senang tidak? Bagaimana buahnya saja... pohon selalu dinilai dari buahnya... kalau buahnya baik artinya kan pohonnya baik... tapi sekali lagi... apa sih buah yang baik itu?
semakin kacau saja
popi, cerpennya keren, orisinal :)
udah jadi cerpenis niyyy?! miss uuuuuuuuuuuuuuuu
saya terima keperawanananya dengan segerombol sapi dibayar tunai..ck ck edun euy..menurut sy ya pie, dijamin bakalan tidak benar2 nyata senangnya
Posting Komentar